Selasa, 06 November 2012

Bukan Kekurangan, Tapi Pelengkap


            K e k u r a n g a n. Itu lah kata-kata yang kerap dikatan sederetan orang kepadaku. Tapi tidak dengan hatiku, aku selalu mencintai hidupku. Aku bisa melakukan banyak hal, mengamen dengan gitar kecilku, bercanda dengan teman sebaya, menghabiskan malam minggu di pojokan taman kota. Aku tidak pernah mengeluh seperti orang yang berdemo, menagih janji-janji para wali rakyat. Kehidupanku memang sederhana, tinggal makan, mencari uang, mengobrol kemudian tidur kembali. Aku hidup sebatang kara, apa yang harus dinafkahi? Pertanyaan dewasa itu mulai timbul ketika suatu hari kulihat gadis seumuranku berjalan melintasi rumah sewaan sempitku. Dia kemudian mengetuk pintu rumah sebelah. Lama sekali tak dijawab.
            “Maaf, mbak mencari siapa?” Tanyaku dengan sopan.
            Dia tidak menjawabku, tetapi wajahnya menunjukkan ketakutan. Apa salahku? Kupandangi dandananku yang sederhana dengan kaos oblong hitam bergambar Iron Maiden lusuh, celana jins biru yang robek di bagian lutut dan rambut gondrong acak-acakan. Berbeda dengan dia yang memakai blouse biru dengan corak bunga di sana sini. Wajahnya terlihat anggun dengan kerudung putihnya.
            “Maaf mbak, tetapi pak Man sedang pergi sebentar tadi. Kalau tidak keberatan silahkan menunggu sebentar, ya.” Kataku menawarkan.
            Lagi-lagi dia hanya melirikku. Tidak lama kemudian dia memiringkan badannya dan menatapku. Maha Sempurna Tuhan, dia adalah tipe gadis dengan wajah oval mulus, ditambah wajah indah berseri dan bibir yang seakan cocok berada di tempatnya. Anggun gerak tubuhnya menambah keelokan ciptaan tuhan ini. Aku semakin kacau, dia mengangguk dan menghampiriku. Kupersilahkan duduk di atas kursi semenku. Meski tak nyaman, aku tetap menawarinya minum. Dia sekali lagi hanya menganggukkan kepalanya. Maka aku segera ke dalam membuat minuman tersegar untuknya.
            Otakku segera berputar karena tak ada gelas atau apapun untuk wadah penyajian. Maklum, tamuku hanyalah para pengemis dan pengamen yang sering membawa gelas sendiri. Maka saat itu juga aku bergegas lewat pintu belakang, meminjam gelas bagus dan meminta air dingin dari tetangga. Setelah sampai dapur kembali, aku membuatkannya sirup melon. Kuambil nampan bekas sebagai alasnya, kemudian aku keluar dengan senyum lebar.
            Betapa naasnya, yang dihidangkan justru sudah bertemu yang dicari. Kemudian menjabat tangan Pak Man takzim sekali, dan tersenyum elok sekali kepadaku.
            “Terimakasih ya nak, kau sudah menerima tamuku dengan baik.” Kata Pak Man seakan tidak melihat ekspresi kecewaku.
            Aku mengangguk seadanya. Gadis itu pun tersenyum kembali tersenyum kepadaku kemudian melangkah pergi dengan anggun. Sekali lagi senyumnya membawaku ke langit hingga aku tidak sadar es sirup tadi telah musnah diminum Pak Man.
            “Dia itu keponakanku, sangat cantik. Sayang belum punya calon.
            “Apa dia tidak punya pacar, pak?”
            “Tunangan terakhirnya telah meninggal, kecelakaan pesawat katanya.”
            Berita dari Pak Man tersebut sungguh mengguncangku. Betapa tegarnya dia, masih bisa tersenyum walau di dalam hatinya perih.
            Seminggu, sebulan, setahun pun aku tak pernah melihatnya. Gadis itu hanya rajin menyambangiku disaat melamun atau bermimpi. Kini aku bukan pengamen jalanan, melainkan penghibur café ternama. Hidupku sudah mulai tertata, aku mulai punya keinginan memiliki rumah sendiri. Menabung untuk hari tua dengan hasil kerja kerasku sendiri. Disaat semua sudah jelas dan rapih, Mengapa ia tak kunjung kembali? Sering kunyanyikan lagu untuknya, bahkan setiap saat aku berkeinginan untuk menciptakan lagu indah hanya untuk gadis pujaanku. Membayangkan jika suatu hari aku menjadi tenar, dia akan menghampiriku, berdecak kagum dihadapanku yang sudah mapan. Tapi itu hanyalah mimpi. Sekarang disekelilingku banyak gadis cantik, banyak wanita berparas indah, tetapi tidak menggoyahkan keyakinanku menunggu si gadis berkerudung.
            Pelan tapi pasti, akhirnya aku dipertemukan lagi dengan Pak Man, di sebuah acara perkawinan kerabatku. Beliau tidak menyadari kalau pria di depannya adalah aku. Lalu kusunggingkan senyum khasku/
            “Bapak lupa dengan saya?” Tanyaku santai.
            “Siapa ya? Saya kok pernah lihat mas, tapi wajahnya tidak begini. Dia lebih jelek dan mukanya lusuh.”
            “Saya tebak dia bernama Osan?”
            “Ya! Benar sekali mas, tapi bagaimana mas tahu?”
            “Saya Ohan pak, yang dulu sekali menyewa rumah di sebelah Pak Man.” Kataku sambil tersenyum ramah.
            “Ooooh Alhamdulilaah kamu sekarang sudah jadi orang sukses San, saya ikut senang melihat kamu berdandan seperti bos-bos. “ Seru Pak Man sambil meminum segelas bir.
            “Mari kita bicara di balkon, Pak.” Tawarku.
            “Ayo ayo..”
            Aku dengan mantap melangkahkan kaki menuju balkon dengan sasaran ingin bertanya tentang keberadaan si gadis anggun. Setelah di balkon, aku menawarinya rokok dan dia menolak. Aku menaruh seputung di bibir dan menyalakannya. Sambil kusedot rokok, aku bertanya-tanya kepada Pak Man.
            “Yah, dia sudah pindah dari kota ini. Sekarang Emelyn sudah ke ibukota bersama pakdhenya.”
            “Oh jadi namanya Emelyn pak, nama yang indah. Bapak punya nomor teleponnya?”
            “Saya tidak punya San. Tetapi saya hafal betul alamat rumahnya. Nih” Kata Pak Man sambil menyodorkan secarik kertas. Kami kemudian mengobrol dan bercerita pengalaman satu sama lain. Dari sana aku bisa menangkap bahwa keluarga Pak Man berasal dari kalangan sederhana. Prinsip hidupnya satu, bahagialah dengan hidupmu. Resapilah setiap detiknya agar bermanfaat ketika berpindah alam. Dan kemudian aku menyadari ini, hidup kita bukan hanya sekarang. Tetapi masih lebih jauh diluar nalar dan akal kita.
            Malam semakin larut, aku pamit pulang duluan karena jadwal pesawat. Besok pagi-pagi aku harus mencari Emelyn, si gadis anggun
             --------------------------------------------------------------------------------------
            Terik matahari semakin menyengat ketika aku sampai di rumah yang diberitahukan oleh Pak Man. Tampak seorang gadis menyapu rumah sederhana itu, di daerah ibukota Timur. Dasternya berwarna merah marun dengan corak bunga di sana sini. Seketika kusadari bahwa dia juga memakai kerudung yang warnanya sama seperti bajunya. Kuberanikan diri untuk mengetuk pagar rumah itu. Si gadis pun menghampiri dan berhenti di tengah jalan untuk melihatku. Ya, dia adalah si gadis anggun. Oh tuhan, waktu seakan berhenti ketika dia menatapku layaknya seseorang yang dia rindukan.
            “Mas Ohan ya?” Dia bertanya. Suaranya seperti mengelus kuklitku.
            “Iya benar, Kamu Emelyn ya?” Tanyaku sok tidak mengerti
            “Emh.. Sebenarnya ini yang ingin saya ceritakan mas.. Silahkan masuk dulu.” Dia membukakan pagar dan mempersilahkanku duduk di kursi terasnya.
            “Maaf mas, saya ke dalam dulu.” Katanya. Dan aku pun mengangguk.
            Si gadis pun kembali dengan membawa secangkir kopi dan sepucuk kertas. Setelah kutelaah ternyata itu adalah surat.
            “Begini mas, sebenarnya saya ini saudari dari Kak Emelyn, nama saya Emma, memang banyak orang yang bilang kami sama. Tapi kak Emelyn lahir setahun lebih tua dari saya. Ini ada surat dari kakak.” Ujar Emma sambil menyerahkan sepucuk surat. Aku membacanya dengan perasaan was-was.

Hai. Salam kenal. Namaku Emelyn, mungkin kau belum tahu sebelumnya. Ya, aku tidak pernah bicara sepatah kata pun karena memang aku tidak bisa. Bukan aku yang ingin, tetapi Tuhan yang menentukan. Aku bisu sejak kecil, dan sejak itulah hidupku tidak pernah tenteram. Aku memang anak yang tidak diharapkan, setelah melahirkanku, ayahku tiada. Aku merindukan sosok ayah yang sungguh bisa mendekapku ketika aku sedih, yang bisa memelukku ketika aku lelah, berbagi cerita pengalaman, ya aku rindu sekali dan haus akan kasih sayang seorang ayah. Dan itu ada padamu, segera saja kulihat ketika aku mengunjungi pamanku. Tahukah kau? Sejak hari itu setiap kau pergi mengamen, aku selalu mengikutimu dari belakang, melihat wajah lelahmu dari jauh, melihat tawamu dari sisi yang bahkan kau tidak pernah menyadarinya, melihat kau berbincang dengan teman-temanmu, aku suka semuanya tentangmu.  Dan aku-lah orang yang meyakinkan manager café tempat kau bermain, bahwa kau mempunyai bakat sampai kau kini menjadi orang yang terkenal. Aku tidak pernah mengunjungi atau menemuimu. Aku takut, aku takut bahwa kau tidak bisa menerima kehadiranku yang tidak bisa bicara ini. Aku hanya ingin terlihat sempurna di matamu, aku hanya ingin kau tersenyum ketika kau melihatku. Aku tak pernah berharap kau akan mencariku, karena aku tidak pantas dicari oleh orang sepertimu. Kau terlalu baik bagiku, kaulah segalanya. Hingga suatu hari kukirimkan sebuah gitar akustik untukmu, bertanda tanganku di badan gitar itu. Aku menuliskan judul lagu favoritku di sisi nya, agar suatu hari kau akan menyanyikannya untukku. Dan mimpi itu menjadi kenyataan, saat aku iseng melihatmu di café, kau sedang menyanyikan lagu itu dan suaramu sangat merdu hingga membuatku terpesona. Senyummu di akhir lagu menambah sinar di dalam liriknya.
          Itulah sekelumit fakta yang kau belum mengetahui sebelumnya. Maaf, aku menulis ini karena mungkin ini hari terakhirku. Hari ini aku operasi pita suara, kata dokter kemungkinan selamatnya enam puluh persen. Aku hanya berharap, kau bahagia dengan hidupmu yang sekarang :)
-         Emelyn Rose”


Aku terhenyak. Betapa tidak, aku selama ini tidak tahu bahwa dialah yang membuat hidupku lebih baik tetapi aku tak bisa berterima kasih padanya.
“Di rumah sakit mana sekarang kakakmu?” Tanyaku sambil menitikkan air mata.
“Sebentar, di sini.”
 Dia menuliskan alamatnya dan taksiku yang sudah menunggu segera kususul. Aku berpamitan cepat-cepat dan melenggang ke jalanan padat ibukota. Seakan tahu maksudku, supir taksi menginjak pedal lebih dalam dari biasanya, meliak-liuk di antara mobil-mobil, dengan cepat melajukan kendaraannya. Tiga puluh menit kemudian aku telah sampai di halaman Rumah Sakit. Aku berlari menuju ruangan si gadis anggun terbaring. Kulihat ibunya sedang duduk di kursi depan pintu sambil sesenggukan. Aku duduk di sebelahnya dan melakukan perkenalan cepat.
“Sudah dua jam dia koma, tidak sadarkan diri. Tante, tante takut sekali nak.” Kata ibunya sambil sesenggukan dan air matanya mengalir deras. Kepalanya sekarang dititipkan ke bahuku.
“Sabar tante, Emelyn pasti bisa. Dia wanita yang kuat.” Kataku membujuk. Padahal sedari tadi air mataku sudah mengalir, tak kuasa demi melihat siluet pemandangan seorang ibu yang khawatir anaknya kenapa-napa.
Tidak lama dokter keluar, mukanya murung menandakan apa yang akan dikatakannya adalah hal buruk.
“Maaf bu, kami gagal. Tenggorokannya mengalami pendarahan terlalu banyak dan itu mempengaruhi nafasnya hingga terhenti.“
Maka buncahlah tangis ibunya, disusul tangis Pak Man dan seluruh kelarganya yang barusan datang dari luar kota. Aku menyingkir dan duduk sambikl memegang kepalaku. Mengapa? Aku hanya terlambat beberapa jam saja, dan dia sudah kembali ke pelukan Tuhan. Dia menyusul takdir kehidupannya di dunia yang berbeda. Aku yang selama ini buta, tidak peka bahwa dia lah yang sudah mencintaiku apa adanya, mengasihiku hingga rela menyerahkan nyawanya hanya untuk terlihat normal dihadapanku. Ya, penyesalan selalu datang di akhir dan sakitnya selalu membekas di hati. Mengapa, orang yang berhati bersih dan seharusnya pantas hidup harus tiada? Dan mengapa, orang yang berhati busuk dan seharusnya tidak pantas hidup, bisa hidup lebih lamaa?
---------------------------------------------------------------------------------------------------
            Kini, umurku terbilang hampir satu abad. Aku hanya bisa duduk di taman dengan bantuan kursi roda,  menatap kosong matahari dan rembulan bergantian. Tapi  baying si gadis anggun tetap ada di benakku. Ia selalu melihat ke arahku, tersenyum amat manisnya hingga mataku bening kembali. Dan yang aku sadari adalah, kekurangan ialah hal terindah untuk melengkapi.

Selasa, 04 September 2012

The reason of everything

This message was written by a desprate insane:

Hai

Yep, the first time I see you.. Bidadari dengan segala keindahan, mengepakkan sayap emasnya terbang di angkasa, menukik meliak-liuk di atas diriku yg bersimbah debu. Aku yg fana ini. Aku yg menatapmu dengan muka coreng-moreng. Aku yg menikmati indahmu dari sisi gelap dunia. Aku yg semakin lama semakin baik di matamu, aku yg terangkat dari lautan sampah, aku yg baru saja mendapat seragam layak. Aku yg tak bisa menggapaimu, karena hati ini berkata aku tak pantas untukmu. Mereka-reka, rindu yg semakin membunuh, setajam pisau menguliti memori tentang waktu yg kita jalani bersama. Pelan-pelan tulang belulang berurai, hati ini semakin merasa engkau ada di ujung dunia. Tangan ini hampa, sedang angin menahanku melangkah ke arahmu meskipun aku tau merangkak pun aku bisa. Setiap detik, menit, jam yg berlalu adalah setangkai bahkan ribuan bunga di benakku bila bersamamu. Aku yg lemah, semua ketidakmampuanku, lebih baik aku pergi turun ke bawah bumi dan tependam selamanya. Memeluk bayangmu, menikmati setiap wangi jejakmu, membelai indahnya anganku bersamamu

When I feel so weak and uncontrolled? Ketika kau terluka dan aku hanya bisa diam, berpura tak acuh dalam kegelapan hati. Ketika kau tersakiti dan aku hanya bisa memandang, menampar rerumputan tinggi yg seakan mengejekku bodoh. Ya, itu aku. Tahukah kau, berbait-bait puisi harusnya kuutarakan padamu. Hati ingin, tapi setiap kekuatan dalam jiwa menahanku. Pantaskah aku?

When I see you smile... Kuharap setiap bangun pagi aku tidak tahu jawaban dari lirik lagu itu. Yep, I can't face the world. Waktu seakan menjadi agar-agar, melambat seiring terhentinya senyum indah itu. Aku yg hanya bisa menyerap waktu langka itu, melewatinya seakan tidak terjadi apa-apa. "You've got the smile that only heaven can make" - Chris Brown

That's all, I'm not Alexander Pierce in 'From Paris with Love' that send this letter to guide you to a better place, but I'm Johnny Depp that write this for you, 'Arco Iris'. Yep, I love Spanish