K e k u r a
n g a n. Itu lah kata-kata yang kerap dikatan sederetan orang kepadaku. Tapi
tidak dengan hatiku, aku selalu mencintai hidupku. Aku bisa melakukan banyak
hal, mengamen dengan gitar kecilku, bercanda dengan teman sebaya, menghabiskan
malam minggu di pojokan taman kota. Aku tidak pernah mengeluh seperti orang
yang berdemo, menagih janji-janji para wali
rakyat. Kehidupanku memang sederhana, tinggal makan, mencari uang,
mengobrol kemudian tidur kembali. Aku hidup sebatang kara, apa yang harus
dinafkahi? Pertanyaan dewasa itu mulai timbul ketika suatu hari kulihat gadis
seumuranku berjalan melintasi rumah sewaan sempitku. Dia kemudian mengetuk
pintu rumah sebelah. Lama sekali tak dijawab.
“Maaf, mbak mencari siapa?” Tanyaku dengan
sopan.
Dia tidak
menjawabku, tetapi wajahnya menunjukkan ketakutan. Apa salahku? Kupandangi
dandananku yang sederhana dengan kaos oblong hitam bergambar Iron Maiden lusuh,
celana jins biru yang robek di bagian lutut dan rambut gondrong acak-acakan.
Berbeda dengan dia yang memakai blouse biru dengan corak bunga di sana sini.
Wajahnya terlihat anggun dengan kerudung putihnya.
“Maaf mbak, tetapi pak Man sedang pergi
sebentar tadi. Kalau tidak keberatan silahkan menunggu sebentar, ya.” Kataku
menawarkan.
Lagi-lagi
dia hanya melirikku. Tidak lama kemudian dia memiringkan badannya dan
menatapku. Maha Sempurna Tuhan, dia adalah tipe gadis dengan wajah oval mulus,
ditambah wajah indah berseri dan bibir yang seakan cocok berada di tempatnya.
Anggun gerak tubuhnya menambah keelokan ciptaan tuhan ini. Aku semakin kacau,
dia mengangguk dan menghampiriku. Kupersilahkan duduk di atas kursi semenku.
Meski tak nyaman, aku tetap menawarinya minum. Dia sekali lagi hanya
menganggukkan kepalanya. Maka aku segera ke dalam membuat minuman tersegar
untuknya.
Otakku
segera berputar karena tak ada gelas atau apapun untuk wadah penyajian. Maklum,
tamuku hanyalah para pengemis dan pengamen yang sering membawa gelas sendiri.
Maka saat itu juga aku bergegas lewat pintu belakang, meminjam gelas bagus dan
meminta air dingin dari tetangga. Setelah sampai dapur kembali, aku
membuatkannya sirup melon. Kuambil nampan bekas sebagai alasnya, kemudian aku
keluar dengan senyum lebar.
Betapa
naasnya, yang dihidangkan justru sudah bertemu yang dicari. Kemudian menjabat
tangan Pak Man takzim sekali, dan tersenyum elok sekali kepadaku.
“Terimakasih
ya nak, kau sudah menerima tamuku dengan baik.” Kata Pak Man seakan tidak
melihat ekspresi kecewaku.
Aku
mengangguk seadanya. Gadis itu pun tersenyum kembali tersenyum kepadaku
kemudian melangkah pergi dengan anggun. Sekali lagi senyumnya membawaku ke
langit hingga aku tidak sadar es sirup tadi telah musnah diminum Pak Man.
“Dia itu
keponakanku, sangat cantik. Sayang belum punya calon.”
“Apa dia
tidak punya pacar, pak?”
“Tunangan
terakhirnya telah meninggal, kecelakaan pesawat katanya.”
Berita dari
Pak Man tersebut sungguh mengguncangku. Betapa tegarnya dia, masih bisa
tersenyum walau di dalam hatinya perih.
Seminggu,
sebulan, setahun pun aku tak pernah melihatnya. Gadis itu hanya rajin
menyambangiku disaat melamun atau bermimpi. Kini aku bukan pengamen jalanan,
melainkan penghibur café ternama. Hidupku sudah mulai tertata, aku mulai punya
keinginan memiliki rumah sendiri. Menabung untuk hari tua dengan hasil kerja
kerasku sendiri. Disaat semua sudah jelas dan rapih, Mengapa ia tak kunjung
kembali? Sering kunyanyikan lagu untuknya, bahkan setiap saat aku berkeinginan
untuk menciptakan lagu indah hanya untuk gadis pujaanku. Membayangkan jika
suatu hari aku menjadi tenar, dia akan menghampiriku, berdecak kagum
dihadapanku yang sudah mapan. Tapi
itu hanyalah mimpi. Sekarang disekelilingku banyak gadis cantik, banyak wanita
berparas indah, tetapi tidak menggoyahkan keyakinanku menunggu si gadis
berkerudung.
Pelan tapi
pasti, akhirnya aku dipertemukan lagi dengan Pak Man, di sebuah acara
perkawinan kerabatku. Beliau tidak menyadari kalau pria di depannya adalah aku.
Lalu kusunggingkan senyum khasku/
“Bapak lupa
dengan saya?” Tanyaku santai.
“Siapa ya?
Saya kok pernah lihat mas, tapi wajahnya tidak begini. Dia
lebih jelek dan mukanya lusuh.”
“Saya tebak
dia bernama Osan?”
“Ya! Benar
sekali mas, tapi bagaimana mas tahu?”
“Saya Ohan
pak, yang dulu sekali menyewa rumah di sebelah Pak Man.” Kataku sambil
tersenyum ramah.
“Ooooh
Alhamdulilaah kamu sekarang sudah jadi orang sukses San, saya ikut senang
melihat kamu berdandan seperti bos-bos. “ Seru Pak Man sambil meminum segelas
bir.
“Mari kita
bicara di balkon, Pak.” Tawarku.
“Ayo ayo..”
Aku dengan
mantap melangkahkan kaki menuju balkon dengan sasaran ingin bertanya tentang
keberadaan si gadis anggun. Setelah
di balkon, aku menawarinya rokok dan dia menolak. Aku menaruh seputung di bibir
dan menyalakannya. Sambil kusedot rokok, aku bertanya-tanya kepada Pak Man.
“Yah, dia
sudah pindah dari kota ini. Sekarang Emelyn
sudah ke ibukota bersama pakdhenya.”
“Oh jadi
namanya Emelyn pak, nama yang indah. Bapak punya nomor teleponnya?”
“Saya tidak
punya San. Tetapi saya hafal betul alamat rumahnya. Nih” Kata Pak Man sambil
menyodorkan secarik kertas. Kami kemudian mengobrol dan bercerita pengalaman
satu sama lain. Dari sana aku bisa menangkap bahwa keluarga Pak Man berasal
dari kalangan sederhana. Prinsip hidupnya satu, bahagialah dengan hidupmu. Resapilah setiap detiknya agar bermanfaat
ketika berpindah alam. Dan kemudian aku menyadari ini, hidup kita bukan
hanya sekarang. Tetapi masih lebih jauh diluar nalar dan akal kita.
Malam
semakin larut, aku pamit pulang duluan karena jadwal pesawat. Besok pagi-pagi
aku harus mencari Emelyn, si gadis anggun
--------------------------------------------------------------------------------------
Terik
matahari semakin menyengat ketika aku sampai di rumah yang diberitahukan oleh
Pak Man. Tampak seorang gadis menyapu rumah sederhana itu, di daerah ibukota
Timur. Dasternya berwarna merah marun dengan corak bunga di sana sini. Seketika
kusadari bahwa dia juga memakai kerudung yang warnanya sama seperti bajunya.
Kuberanikan diri untuk mengetuk pagar rumah itu. Si gadis pun menghampiri dan
berhenti di tengah jalan untuk melihatku. Ya, dia adalah si gadis anggun. Oh tuhan, waktu seakan
berhenti ketika dia menatapku layaknya seseorang yang dia rindukan.
“Mas Ohan
ya?” Dia bertanya. Suaranya seperti
mengelus kuklitku.
“Iya benar,
Kamu Emelyn ya?” Tanyaku sok tidak mengerti
“Emh..
Sebenarnya ini yang ingin saya ceritakan mas.. Silahkan masuk dulu.” Dia
membukakan pagar dan mempersilahkanku duduk di kursi terasnya.
“Maaf mas,
saya ke dalam dulu.” Katanya. Dan aku pun mengangguk.
Si gadis pun
kembali dengan membawa secangkir kopi dan sepucuk kertas. Setelah kutelaah
ternyata itu adalah surat.
“Begini mas,
sebenarnya saya ini saudari dari Kak Emelyn, nama saya Emma, memang banyak
orang yang bilang kami sama. Tapi kak Emelyn lahir setahun lebih tua dari saya.
Ini ada surat dari kakak.” Ujar Emma sambil menyerahkan sepucuk surat. Aku
membacanya dengan perasaan was-was.
“ Hai. Salam kenal. Namaku Emelyn, mungkin kau belum tahu sebelumnya. Ya,
aku tidak pernah bicara sepatah kata pun karena memang aku tidak bisa. Bukan
aku yang ingin, tetapi Tuhan yang menentukan. Aku bisu sejak kecil, dan sejak
itulah hidupku tidak pernah tenteram. Aku memang anak yang tidak diharapkan,
setelah melahirkanku, ayahku tiada. Aku merindukan sosok ayah yang sungguh bisa
mendekapku ketika aku sedih, yang bisa memelukku ketika aku lelah, berbagi
cerita pengalaman, ya aku rindu sekali dan haus akan kasih sayang seorang ayah.
Dan itu ada padamu, segera saja kulihat ketika aku mengunjungi pamanku. Tahukah
kau? Sejak hari itu setiap kau pergi mengamen, aku selalu mengikutimu dari
belakang, melihat wajah lelahmu dari jauh, melihat tawamu dari sisi yang bahkan
kau tidak pernah menyadarinya, melihat kau berbincang dengan teman-temanmu, aku
suka semuanya tentangmu. Dan aku-lah
orang yang meyakinkan manager café tempat kau bermain, bahwa kau mempunyai
bakat sampai kau kini menjadi orang yang terkenal. Aku tidak pernah mengunjungi
atau menemuimu. Aku takut, aku takut bahwa kau tidak bisa menerima kehadiranku
yang tidak bisa bicara ini. Aku hanya ingin terlihat sempurna di matamu, aku
hanya ingin kau tersenyum ketika kau melihatku. Aku tak pernah berharap kau
akan mencariku, karena aku tidak pantas dicari oleh orang sepertimu. Kau
terlalu baik bagiku, kaulah segalanya. Hingga suatu hari kukirimkan sebuah
gitar akustik untukmu, bertanda tanganku di badan gitar itu. Aku menuliskan
judul lagu favoritku di sisi nya, agar suatu hari kau akan menyanyikannya
untukku. Dan mimpi itu menjadi kenyataan, saat aku iseng melihatmu di café, kau
sedang menyanyikan lagu itu dan suaramu sangat merdu hingga membuatku
terpesona. Senyummu di akhir lagu menambah sinar di dalam liriknya.
Itulah sekelumit fakta yang kau belum
mengetahui sebelumnya. Maaf, aku menulis ini karena mungkin ini hari
terakhirku. Hari ini aku operasi pita suara, kata dokter kemungkinan selamatnya
enam puluh persen. Aku hanya berharap, kau bahagia dengan hidupmu yang sekarang
:)
-
Emelyn
Rose”
Aku terhenyak. Betapa tidak, aku
selama ini tidak tahu bahwa dialah yang membuat hidupku lebih baik tetapi aku
tak bisa berterima kasih padanya.
“Di rumah sakit mana sekarang
kakakmu?” Tanyaku sambil menitikkan air mata.
“Sebentar, di sini.”
Dia menuliskan alamatnya dan taksiku yang
sudah menunggu segera kususul. Aku berpamitan cepat-cepat dan melenggang ke
jalanan padat ibukota. Seakan tahu maksudku, supir taksi menginjak pedal lebih
dalam dari biasanya, meliak-liuk di antara mobil-mobil, dengan cepat melajukan
kendaraannya. Tiga puluh menit kemudian aku telah sampai di halaman Rumah
Sakit. Aku berlari menuju ruangan si gadis
anggun terbaring. Kulihat ibunya sedang duduk di kursi depan pintu sambil
sesenggukan. Aku duduk di sebelahnya dan melakukan perkenalan cepat.
“Sudah dua jam dia koma, tidak
sadarkan diri. Tante, tante takut sekali nak.” Kata ibunya sambil sesenggukan
dan air matanya mengalir deras. Kepalanya sekarang dititipkan ke bahuku.
“Sabar tante, Emelyn pasti bisa. Dia
wanita yang kuat.” Kataku membujuk. Padahal sedari tadi air mataku sudah
mengalir, tak kuasa demi melihat siluet pemandangan seorang ibu yang khawatir
anaknya kenapa-napa.
Tidak lama dokter keluar, mukanya
murung menandakan apa yang akan dikatakannya adalah hal buruk.
“Maaf bu, kami gagal. Tenggorokannya
mengalami pendarahan terlalu banyak dan itu mempengaruhi nafasnya hingga
terhenti.“
Maka buncahlah tangis ibunya, disusul
tangis Pak Man dan seluruh kelarganya yang barusan datang dari luar kota. Aku
menyingkir dan duduk sambikl memegang kepalaku. Mengapa? Aku hanya terlambat
beberapa jam saja, dan dia sudah kembali ke pelukan Tuhan. Dia menyusul takdir
kehidupannya di dunia yang berbeda. Aku yang selama ini buta, tidak peka bahwa
dia lah yang sudah mencintaiku apa adanya, mengasihiku hingga rela menyerahkan
nyawanya hanya untuk terlihat normal dihadapanku. Ya, penyesalan selalu datang
di akhir dan sakitnya selalu membekas di hati. Mengapa, orang yang berhati
bersih dan seharusnya pantas hidup harus tiada? Dan mengapa, orang yang berhati
busuk dan seharusnya tidak pantas hidup, bisa hidup lebih lamaa?
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Kini, umurku
terbilang hampir satu abad. Aku hanya bisa duduk di taman dengan bantuan kursi
roda, menatap kosong matahari dan
rembulan bergantian. Tapi baying si gadis anggun tetap ada di benakku. Ia
selalu melihat ke arahku, tersenyum amat manisnya hingga mataku bening kembali.
Dan yang aku sadari adalah, kekurangan ialah hal terindah untuk melengkapi.