Senin, 26 Desember 2011

A JOURNALIST jOURNEY

Intro

Pagi ini, entah kenapa kota kami diguyur hujan deras. Sudah lama kami merindukan rahmat dari tuhan berupa percikan air yang menetes satu per satu. Sedikit demi sedikit. Perlahan, tapi mengisi. Kota ini berada tak jauh dari pusat kota. Di mana orang-orang menyebut kota ini kota pinggiran. Sidoarjo.

Ya, mungkin namanya terlalu rendah. Nama yang merendahkan. Tapi inilah kota kami, kota yang menyimpan seribu kenangan. Kota tempat orang berlalu lalang menjajahkan barang jualan, hiruk pikuk kendaraan, dan yang tak kalah menarik, kota ini selalu menyimpan kedamaian. Tenang. Tak alami tapi menyejukkan.

Inilah aku, Marko Sinarta, pemuda berumur 15 tahun yang akan mengisi semua cerita ini. Selalu bermimpi bahwa dunia ini tak ada yang tak mungkin. Selalu berfikir semua bisa dilakukan. Tapi, inilah aku, pemuda yang terjebak dalam siklus mengerikan sekolahku sendiri. Siklus yang disebut jaringan hidup. Untuk apa kita diciptakan, dan untuk apa orang lain diciptakan. Semua pasti berkaitan.

Siklus mengerikan sekolah

“Hey anak cupu! Ke mana saja kau beberapa hari ini? Aku mencarimu ke mana-mana tapi tak ada.” Aku pun menoleh.

“Kau memanggil siapa? Tidak ada yang bernama anak cupu di sini. Sekarang, enyahlah!” Kataku sok acting.

Mereka lalu menyergapku di tiang bendera sekolah. Aku benar-benar kalah jumlah. Mereka anak-anak berbadan tegap dan gempal, berjumlah lima orang. Bos merekalah yang paling depan. Dia garang. Dia lelaki sekitar umur 15 tetapi dengan badan gempal dan tinggi, dia kuat. Sementara aku, tak 40 persen pun menyamai mereka. Aku hanya anak SMP biasa yang tidak tinggi dan tidak gempal. Apa lagi kuat.

Siang hari itu panas sangat menyengatku. Entah bagaimana hujan yang mengguyur sejak pagi hilang begitu saja. Aku baru tersadar tiga puluh menit kemudian. Tubuhku sudah berada di tong sampah dengan tangan dan kaki terikat. Mulutku tersumpal sesuatu. Benar-benar tak bisa bergerak. Lalu kudengar suara kecil tapi merdu. “Bolehkah aku menolongmu, teman?”. Aku mengangguk. Tidak yakin itu siapa, tapi menurut analisaku, dia baik. Dia anak perempuan berambut panjang. Rambutnya hitam kecoklatan. Tingginya kira-kira setelingaku. Mungkin hampir sama denganku. Wajahnya cantik alami, dengan kulit putih bersih. Setelah dilepaskan, dia memberitahuku aku telah dipukuli beramai-ramai sampai tidak sadar. Sudah jelas siapa pelakunya. Ya, mungkin bagi kalian hanya pertengkaran biasa. Tapi tidak, ini lebih kejam. Mereka selalu mengambil uang anak-anak yang dipukuli. Menyisahkan dompet kosong. Bukan masalah uang yang diambil, tapi masalah hati. Mereka tidak pernah berfikir, bagaimana perasaan orang yang dipukuli.

“Oh iya, namaku Anggi. Anggi Stevanus. Salam kenal ya.” Katanya membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum manis.

“Namaku Marko. Marko Sinarta. Salam kenal.” Kataku sambil membalas senyumnya. Maka hari itu, aku mempunyai satu teman baru. Dia bilang “Sudahlah, kau di bully karena perintah sekolah.” Meskipun tidak mengerti tapi aku tetap mengangguk.

Anggi Stevanus

Pertemanan kami segera saja berubah menjadi persahabatan. Anggi orang yang asyik, dia mengajari banyak hal baru. Dia juga orang yang ramah. Kami juga banyak kesamaan. Kami sama-sama suka membaca buku fantasi, kami juga sama-sama suka bersepeda. Sekarang, ke mana pun aku melangkah, di situ pasti ada Anggi. Aku tak punya teman lain seperti dia. Dia cewek gaul. Aku hanya pecundang. Tapi dia tidak memandang itu. Dia bisa membagi waktu kapan harus dengan geng nya, kapan harus denganku.

Sore itu kami berjalan beriringan sepulang sekolah. Rumah kami memang tidak jauh, jadi bisa sejalan. Lumayan untuk teman ngobrol. Dia sangat banyak bercerita, tidak seperti aku yang hanya mendengarkan dan sesekali member komentar.

“Tau gak, meskipun aku sendiri di rumah, tapi para pesuruhku itu lucu-lucu lho.. hahaha.. mereka pernah membuat sup ayam untukku, katanya habis baca buku resep, eh tapi jadinya malah aneh. Tau gak kenapa? Ternyata mereka membaca resep yang salah. Mereka membaca resep untuk membuat sup ikan. Hahaha” Dia bercerita sambil menahan tawa.

“Hahaha, kalau begitu rumahmu nggak akan pernah sepi, dong?’’ Kataku sambil tersenyum. “Nggak… malah kalau seisi rumah sedang menganggur, akan semakin kocak!” Katanya.

Dan tak terasa, rumahnya pun sudah berada di depan mata. Maka dia berpamitan pulang dan masuk ke rumahnya. Inilah tipe rumah Anggi. Besar, elegan dan minimalis. Berbeda dengan rumahku yang terlihat biasa saja. Tetapi bermakna.

Anggi adalah anak pertama sekaligus terakhir dari keluarga Stevanus. Ayahnya seorang pengusaha besar, dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Tetapi dia selalu mendapat kasih sayang yang berlimpah.

‘Brak!’ sebuah kardus yang terlihat sangat berat dijatuhkan seorang anak yang membuyarkan lamunanku.Dia sangat familier. Dia teman sekelasku. Dia juga pecundang. Tapi punya sedikit banyak teman. Lalu kulihat dia adalah anak berkulit agak hitam, dengan rambut keriting. Dia selalu menyunggingkan senyumke semua orang. Kemudian aku menghampirinya dan bertanya “Hai, kenapa kau buang kardus itu?”

“Kardus ini berisi file-file sekolah kita. Rahasia kata pak John. Dia ingin aku cepat membuangnya. Aku tidak berani membacanya. Takut terkena hukuman.” Dia menjawab sambil menelaahku dari ujung kaki sampai rambut. “Kau tinggal di dekat sini ya?” tanyanya.

“Emmh… Iya, rumahku di sana.” Kataku sambil menujuk rumah berwarna putih. “Ooh.. salam kenal ya, aku Bob Hensley, aku tinggal di sebelah rumahmu. Kau bisa mengunjungiku kapan-kapan.” Dia lalu memberikan jabat tangannya. Aku membalas jabat tangannya kemudian tersenyum dan berkata “Bagaimana jika kita pulang bersama?”.

“Oke, tak masalah.” Kata Bob sambil berjalan mengikutiku. Aku lega sekarang. Akhirnya aku punya dua orang sahabat. Mereka sama-sama asyiknya. Yang satu pembaca buku kaya, yang satu anak yang berimajinasi tinggi sepertiku. Tapi yang membedakan aku dengan Bob adalah, dia agak pemalas. Dan setelah masuk kamar, kucatat tanggal hari ini, bulan ini dan tahun ini. ‘Aku mendapat dua teman hebat.’

Bob Hensley

Bob adalah anak dari keluarga sederhana. Dia mempunyai satu kakak dan satu adik. Kakaknya sudah bekerja di suatu perusahaan pencetak majalah. Sayang majalah itu tak pernah laku keras. Mungkin hanya pengemudi becak yang mau membacanya. Tidak asyik. Kata orang-orang. Tapi kakak Bob tak pernah menyerah membuat beita-berita fresh . Tidak seperti kakakku, yang bekerja sebagai event organizer tetapi banyak mengeluh tentang tanggapan orang-orang terhadap pekerjaannya. Aku benci orang seperti itu. Dia lelaki, tapi seperti wanita. Kerjanya hanya mengeluh dan mengeluh. Dan, adik Bob? Dia cewek yang aktif dan berfikiran logis. Tak seperti Bob yang masih mengira bahwa di kamar mandi ada monster air yang membayanginya saat mandi. Itu fikiran yang tida masuk akal menurutku. Imajinasiku dan dia berbeda. Itu perbedaan kami.

“Anggii!!!” teriak Bob di suatu pagi memanggil teman kami yang satunya. “Mungkin kurang keras, Bob.” Kataku sok tau. “Aaanggiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!” sekarang suara Bob terdengar bisa memecahkan jendela lima rumah. Dan dengan santainya Anggi keluar rumah. Masih mengenakan pakaian tidurnya. “Hai teman-teman, hoaaamh.. kalian terlalu awal datangnya.” Kata Anggi sambil mengucek matanya. Bob melihat jam tangan hitamnya. “Nggak kok, kami datang sesuai jam yang kau bilang, jam 5.” Kata Bob penuh keyakinan. “Hei, ini masih jam 4 pagi tauu!!” Sentak Anggi tiba-tiba. Seketika itu aku melihat jam tanganku sendiri. Terpampang ’04.00’ di sana. Aku memukul jidat. “Ma-maaf nggi, hehe, kami yang kecepetan.” Kataku sambil nyengir. “Oke, nggak apa-apa kok, lagian aku juga belum mandi, jadi-“

“Tunggu yaa!!” Teriak Bob dan aku menirukan gaya Anggi. Dia tertawa lalu masuk kembali ke dalam rumahnya. Kami dipersilahkan masuk, tetapi menolak. Takut mengganggu yang di dalam. Masih pagi.

Tak lama, Anggi pun keluar memakai baju pink kesukaannya. Hari ini kami mau bersepeda. Jadi, dia memakai baju tipis tapi modis. Dan tepat ketika dia keluar, ada suara debuman keras di sebelah kiri kami. Empat-lima pemuda kekar berotot menjatuhkan satu anak yang kami kenali- ketua OSIS kami-anak yang memukuliku waktu itu. Kelihatannya dia sedang ada masalah dengan para pemuda itu. Dan dalam hitungan detik, perkelahian tak seimbang terjadi. Kami bertiga mencoba melerai tapi aku malah terkena tinju nyasar. Pukulan itu tepat mengenai pelipis kananku. Lalu Bob berteriak “Stooop!!” dan mereka pun berhenti memukuli ketua OSIS kami. Begitu mereka melengos pergi, kami membantu ketua OSIS kami berdiri. Aku tidak mengenalinya secara dekat, nama pun tidak tau. Dia dipilih berdasarkan keinginan kepala sekolah kami, pak John. Dia lalu bicara “Makasih ya, semuanya. Aku gak tau gimana jadinya kalo gak ada kalian. Makasih ya!” Dia bicara seperti ikan yang mengeluarkan air. Dari mulutnya keluar banyak darah.

Dan di sini lah kami, rumah sakit Sahabat Bumi. Kami di ruang ekonomi. Orang tuanya belum datang. Aku sekarang mengetahui siapa namanya dari Anggi. Namanya adalah Fred Rottens. Dia anak bangsawan. Marganya sudah jelas, Rottens, marga paling dihormati di kota kami.

“Mana ayahku?” dia bicara pada kami. “Kami juga sedang menunggu, Fred, istirahatlah.” Bob menjawab. Mata Fred lalu terpejam. “Sepertinya sihirmu masuk ke otaknya, Bob.” Kataku menggoda. Aku dilempar daun bunga mawar sebagai balasannya. Kami berdua tertawa kecil. Anggi hanya bisa geleng-geleng sambil menahan tawa.

Fred Rottens

Sudah 3 bulan sejak peristiwa Fred masuk rumah sakit. Sebelum keluar rumah sakit, dia dirawat di ruang VIP karena ibunya gengsi di ruang ekonomi. Kami juga menemaninya sampai dia sembuh. Teman-teman sekelas kami bergantian mengunjungi Fred. Kami juga menemaninya sehabis pulang sekolah. Dia memang tidak sekolah, tapi mendapat ilmu dari kami. Dia juga sering bercanda dengan kami sekarang.

“Hey Marko, maaf ya dulu aku memukulimu dan memasukkanmu ke dalam tong sampah. Aku sungguh buta memilih orang sepertimu sebagai target sekolah. Maafkan aku.” Katanya setelah meneguk iced lemon tea di kantin sekolah. “Iya, tak masalah Fred, lagian aku juga dibantu Anggi kok saat itu. Jadi, take easy aja ya!” Kataku, sambil memakan bakso kemudian menepuk bahu Fred.

“Sebenarnya ada yang ingin kuberitahukan pada kalian semua.” Katanya. “Tentang apa?” Kami bertiga hampir bersamaan mengatakaannya. Malah, sate yang dimakan Bob terlontar keluar dari mulutnya. “Tentang… Umm.. Mengapa kelompokku merampas uang dari anak lain. Itu tugas sekolah, sebenarnya.” Dan dengan perkataan itu, aku tersentak. Ternyata benar apa yang dibilang Anggi

“Sudah kubilang kan?! Aku selalu benar!” Kata Anggi bersemangat. Dia mengagetkan teman sebelah kami sampai makanannya tumpah. “Ssst!!” Desis Fred. “Jangan teriak-teriak, bisa?” Kami mengangguk.

“Baik, akan kuceritakan. Sekola kita sekarang sudah mengalami krisis keuangan. Jadi, sekolah ini hampir bangkrut.” Jelas Fred.

“Terus terus?” Tanya Bob.

“Nah, untuk mengisi kas sekolah yang kekurangan itu, kami-anggota OSIS-melakukan pemerasan ke anak-anak yang terpilih sebagai taget sekolah. Diantaranya kalian berdua, Bob, Marko. Mereka membentuk kami hanya untuk menambah gaji guru-guru sekolah. Meskipun ada iuran bulanan, tapi sekolah kita masih kekurangan. Aku curiga pak John…”

“Pak John kenapa?!” Kata Anggi.

“Beliau… korupsi. Karena sangat mustahil uang sebanyak itu tidak mampu membayar pajak, listrik dan air sekolah. Apalagi masih ada uang sumbangan, bukan?”. Fred lalu berdehem sebentar.

“Ya, itu sa-sangat aneh menurutku.” Kata Bob sambil mengernyitkan dahi. “Lalu apa urusannya kau dengan para preman yang memukulimu itu?”. Tanya Bob

“Itulah harga sebuah pemerasan, jika orang yang dirampas tidak terima, maka akan dilaporkan ke saudara atau temannya yan bisa membalas. Tapi, setiap anak yang kupukuli, selalu berkaca kepadaku.”

“Apa maksudnya?” tanyaku tidak mengerti.

“Contohnya kau yang saat itu kupukuli. Kami berlima dan kau satu, kau terluka parah. Aku kemarin kan juga seperti itu?”

Kami berfikir sejenak. Lalu kusadari sebuah pepatah yang tidak asing: Apa yang kita lakukan pada orang lain, itulah yang akan orang lain lakukan pada kita.

Home sweet home

Dan… Di sini lah kami, rumah dengan nuansa minimalis hanya sekitar uuran 40 tetapi menjulang agak tinggi. Jika kalian berfikir ini adalah rumah harmonis, kalian salah. Rumah ini menyimpan banyak kenangan buruk bagiku. Isi rumah ini memang hanya 4 orang, tetapi bagai neraka yang sangat panas. Tidak se-dingin kelihatannya.

Di sini terkenang bagaimana ayah membentakku dengan kata-kata yang sudah lazim kudengar seperti ‘idiot’ ‘bodoh’ ‘tak punya otak’ , dan bahkan sampai kutulis dalam buku pribadiku. Ya, aku selalu bermimpi jadi seorang jurnalis hebat, tetapi ayah selalu melarangku karena dia menganggap itu pekerjaan enteng dan tidak serius. Jika ayah sudah berkata ‘tidak’ maka seluruh rumah seperti diperintah komandan pleton yang menguasai 3 daerah Negara. Dia memang bukan polisi, apalagi tentara, Tetapi kegagalannya menjadi tentara telah mendoktrinnya menjadikan anak-anaknya sebagai tentara gadungan. Kakakku pun mulai tertular, dia menjadi garang dan sensiif dan pemarah. Tak pernah mendengar kata-kata orang lain meskipun benar. Aku sudah muak dengan sifat orang-orang ini.

Ibuku? Beliau memang jarang marah, tetapi ketika aku melakukan kesalahan yg merugikannya, dia akan melontarkan kata-kata bak peluru meriam. Keras, tajam dan jika mengenai, menyakitkan. Hanya buku ini satu-satunya tempatku bercerita. Setiap hari aku menulis cerita tentang mereka, tapi tidak dengan nama mereka sendiri. Takut. Itu alasannya.

Kami berempat suka menjejalkan diri kami ke belakang rumahku, yang ditumbuhi banyak rumput serta sedikit bunga. Memang kecil, tapi bermakna. Kami selalu bercanda sambil memutar video hari ini di sekolah. Fred dan Bob selalu punya rencana gila di sekolah. Yang membuat mau tak mau aku dan Anggi selalu tertawa. Tiba-tiba di tengah video itu terdapat adegan memilukan. Anak-anak dipukuli dan guru-guru memegang uang hasil rampasan mereka.

“Itu bukti untuk kalian, aku sengaja merekamnya lewat bolpoin kameraku. Mereka sangat kejam memilih anak-anak tidak berdaya itu.” Kata Fred tiba-tiba.

“Yiaks.. Dasar Pak John, selalu membuatku jijik dengan tingkahnya. Dia pernah mengemplang anak laki-laki dip agar sekolah. Dan saat dilihat anak-anak perempuan, dia langsung pura-pura baik dan mengelus kepala anak laki-laki itu. Sok manis banget ke anak perempuan.” Anggi menimpali sambil cemberut. Lalu dia mematikan laptopnya.

“Yah, dimatiin.” Sekarang Bob yang cemberut. Aku dan Fred sama-sama tertawa. Kami geli melihat dua anak manusia ini saling bertukar ke-cemberut-an. Dan akhirnya dengan tampak sok galak Bob berkata “Hey! Kenapa kalian tertawa! Ada yang lucu?!” Bob dilempar kulit pisang bekas Fred sebagai jawabannya. Kami tertawa bersama,

“Hmmm… besok harus masuk… malas nih. Upacara pula.” Kata Anggi dengan nada malas. Anggi memang orang yang paling-dan dia sangat-benci dengan upacara. Dia punya pengalaman buruk saat upcara.

“Markooooo!!” Tiba-tiba ibu memanggilku dari dalam rumah. “Iya bu?” kataku setengah berteriak.

Aku pun masuk rumah dengan perasaan takut bercampur penasaran, ada apa tiba-tiba ibu memanggilku. Ayahku ada di sofa, membaca Koran sambil menyilangkan kaki di dekat ambang pintu. Ibuku menonton acara televisi di dekat sofa. Kakakku sedang bermain dengan laptopnya. Lalu ayahku menutup korannya dan kemudian menaruhnya di atas meja bundar di depannya. Dia lalu berdiri dan menghampiriku yang sedari tadi berdiri di ambang pintu. Tangannya melesat cepat kea rah kepalaku.

Meet a little monster

“Maaf ya kemarin kami meninggalkanmu, kami jirih melihat ayahmu memukul kepalamu sampai kau terpanting begitu. Ada apa sebenarnya?” Fred bertanya ketika aku baru saja sampai di sekolah. “Biasa, jika kalian terlalu keras tertawa, maka aku yang akan terkena amukan singa itu.” Aku menjawab dengan santai.

“Tapi kan-“

“Tak apa, santai saja lah, ayahku memang selalu begitu. Hampir setiap hari malah.” Kataku memotong perkataan Anggi. Bob ingin membuka mulut tetapi urung melihatku memotong perkataan Anggi. Bob tahu sifatku. Dia tidak ingin membuatku marah. Lalu tepat saat kami berempat berkumpul, gerombolan lima anak perempuan aneh pun datang. Maksudku, dari dandanan mereka sampai bau mereka aneh sekali. Mereka berdandan layaknya roker dicampur dengan penyihir modern. Dan ketika mereka lewat kami-Aku, Fred, Bob dan Anggi- selalu mencium bau reptil yang bersih. Seperti reptile yang dimandikan. Ini aneh sekali. Tak ada parfum yang seperti itu di kota ini. Meskipun Anggi termasuk orang yang peka terhadap parfum, tapi dia tahu tak ada parfum yang seperti itu. Tapi, anehnya, seluruh kelas tidak ada yang mencium bau seperti itu. Mungkin hanya khayalan kami saja. Tapi semakin hari, kami semakin melihat keanehan mereka. “Hey! Kau melamun ya?” Teriak Bob mengagetkanku.

“Ehh… Aku se-sedang… mmmhh… m-m-mmm-“ Kataku terbata-bata. “Memikirkan mereka? Geng nya Lucy? Yah, mereka semakin aneh. Menurutku.” Bisik Anggi. Mereka seperti bisa mendengar percakapan kami, dan serempak menoleh. Kemudian mengabaikan kami lagi. Lalu mereka berdiri dari bangku masing-masing dan kemudian menghampiri kami berempat. Lucy berjalan paling depan. Dia memang terlihat seperti ketua dari lima orang aneh itu. Lucy berdiri tepat di depanku dan mencondongkan badannya ke hadapanku. “Jika kalian ada masalah dengan kelompok kami, silahkan datang ke kantin sekolah nanti saat jam pulang. Kami menunggu kalian di sana. Jangan sampai terlambat.” Katanya dengan pandangan mata tajam langsung ke mataku. Empat orang sisanya tertawa sinis. Mereka pun berbalik dan keluar kelas sebelum aku bisa menjawab. Aku tampak seperti kucing yang tidak bisa membalas gonggongan anjing kampung. “Lebih baik kita tidak usah mencampuri urusan mereka. Mereka itu freak. Aneh.” Celetuk Bob. “Aku tidak bisa diam saja, mereka sudah mengejek kita!” Fred berkata penuh semangat. “Baiklah. Nanti kita ke kantin saat pulang sekolah.” Kataku memustuskan.

Kantin sekolah sudah sepi saat itu, hanya ada tukang bakso langganan kami dan juga kedai tukang mie kami tercinta. Tepat setelah tukang bakso itu pergi dan mengemasi barangnya, lima orang aneh itu memasuki kantin yang bergaya food court ini dari arah kami datang tadi. Mereka memberi senyum ramah ke tukang bakso yang membuatku ingin muntah. Itu hanya alasan mereka saja agar mendapat bakso gratis setiap hari. Lalu Lucy menengok ke arah sang tukang bakso pergi. Dia mengangkat tangannya kemudian menepukkan kedua tangannya seperti orang member salam. Kami berempat terkesiap, karena tepat saat Lucy menepukkan tangannya yang terlihat ramping dan cocok dengan badannya yang slim itu, tanah di depan grup orang aneh pun terangkat dan tertutup. Layaknya sebuah pagar tinggi. Dan seketika itu aku baru sadar, kami berempat dijebat sekawanan makhluk aneh ini. Apa pun yang dilakukan Lucy, adalah pertanda tidak baik. Kemudian dengan santainya dia menoleh kea rah kami dan melangkah maju menuju tempat kami berdiri. Dua orang anak buahnya-yang satuberkulit putih dan imut, yang satu berkulit sawo matang dan manis-mengikutinya di belakang. Dua orang lainnya berjaga-jaga di dekat pagar tanah. Jantungku berdetak kencang ketika mereka semakin dekat. Apa yang akan mereka lakukan?

Tanah seolah mengikuti mereka ketika mereka berjalan. Pasir-pasir dan tanah lembab di sekitar kantin ikut terseret setiap langkah mereka bertiga. Ini tidak wajar. “Hai, teman-teman.. sudah lama menungguku?” Kata Lucy dengan nada mengejek.

“Kami belum lama di sini, tapi apa yang kau lakukan dengan tanah di belakangmu itu?” Tanyaku seolah aku ini seorang bayi. Terdengar cekikikan dua orang penjaga pintu tanah di kejauhan.

“Hmmm… Itu? Kau lumayan lucu ya, seakan tak mengerti sihir. Itu adalah pengendalian tanah.” Jawab Lucy yang kurang lebih membuatku gagar otak.

“Sihir? Tapi kan-“

“Apa? Karena kalian menganggapku siswi Silver Warrior Junior High School biasa?” Lucy menyela perkataan Anggi sambil tertawa sinis. “Kalian hanya sekumpulan manusia bodoh yang tidak mengerti bahwa teman kalian ini yang menjadi sasaran kami selama ini!” Teriak Lucy sambil menunjukku. Aku semakin gagar otak.

“Apa maksudmu?” Tanya Bob.

“Maksudku? Tentu saja kami akan memakan kalian bertiga lalu menyisakan si penulis ini untuk kami introgasi, bocah kriting!” Lucy berbicara seakan dia bukan manusia. “Dan, inilah saatnya… Hahaha!” Dia tertawa keji kemudian membuka bajunya diikuti oleh dua pengikutnya. Aku sempat menutup mataku, tapi yang kulihat ternyata di dalam seragam sekolah kami, Lucy mempunyai badan seperti reptil-keras dan sedikit bersisik-yang menyerupai kadal dicampur badak. Lalu di bawah pinggangnya, kaki-kaki nya berubah seperti kaki singa. Tangannya pun mulai berubah wujud menjadi berotot dan kemudian memunculkan sisik dan kulit keras yang sama seperti badannya. Tapi, dengan cepat ditumbuhi bulu. Ini sangat tidak wajar. Mereka monster, tapi kami berempat tidak tau monster apa. Kami kembali terkesiap saat mata Lucy berubah menjadi ungu, lalu wajahnya diganti dengan kepucatan dan warnanya menyerupai kulit badannya. Dia juga menumbuhkan ekor. Bukan, itu adalah ular. Jumlahnya 3 atau 4. Rambutnya yang awalnya diikat kebelakang terurai dan naik seperti ketika ada di air. Tapi bahkan tak ada air yang menetes di rambutnya. “Lari!” Teriak Fred mengagetkanku. Otakku pun secara otomatis menyanyikan Muse – Hysteria. Bob menarikku dengan cepat dan kami pun berlari melewati kedai tukang nasi goreng yang kosong kemudian menemukan pintu kecil, lalu membukanya dan menuju halaman belakang. Fred berada paling depan, disusul Anggi, kemudian Bob dan terakhir aku. Aku mendengar derap langkah makhluk aneh dan raungan tidak wajar di belakang kami. Mereka terdengar merusak pintu dengan tidak sabar kemudian mengejar kami lagi.

Halaman belakang sekolah kami yang sudah lama tidak terpakai mengarah ke sebuah sungai besar. Sungai itu mengalir deras dengan kedalaman yang tidak bisa kami prediksikan. Sungai itu tak pernah surut, maka dari itu orang-orang menyebutnya Full River. Kami menyusuri Full River dengan terengah-engah. Makhluk-makhluk di belakang kami mengejar tanpa kenal lelah. Mereka cepat, tapi terbebani oleh tangan mereka yang terlihat terlalu besar untuk badannya. Tanpa dikomando kami berbelok ke kanan, kea rah jembatan yang menghubungkan pagar belakang sekolah kami dengan Small Boulevard, sebuah daerah kumuh dan bau. Kami berempat lari ke tempat di mana padang sampah menggunung dan bersembunyi dibaliknya. Nafas Bob terdengar paling nyaring. “Ini gila! Apa yang dimaksudkan makhluk itu! Apakah aku bermimpi?!” Dia lalu menampar pipinya sendiri dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. “Haha, lucu.” Kata Anggi serius. Aku mengintip dari balik tumpukan sampah kering yang terlihat seperti kertas. Entah bagaimana tiga makhluk yang mengejar kami tidak terlihat asing bagi para penduduk di sekita Small Boulevard. Mungkin mata mereka sedang dihinggapi lalat atau apapun yang menutupi pandangan mereka. Tiga makhluk itu tampak kebingungan ketika melihat padang sampah yang menggunung sekian banyak hingga menutupi pandangan mereka. Lalu salah satu dari mereka-yang tadinya berkulit sawo matang- menutup hidungnya yang terlihat pucat. Lucy-yang berwujud monster-menyuruh kedua pengikutnya berpencar mencari kami. Tepat ketika kami merasa sangat tertekan, seorang anak kecil menghampiri kami kemudian menunduk dan berkata “Mengapa kalian di sini? Kakekku sudah menunggu kalian! Mari, kutunjukkan jalannya!” Bisik anak kecil itu. Anak kecil di depan kami mempunyai tubuh kira-kira setengah tubuhku dan rambutnya tersisir rapi ke samping kanan dan kiri. Dia mirip guru kami yang culun tetapi ini lebih muda. Tanpa piker panjang kami pun mengikutinya. Dia berlari sekencang yang dia bisa dan kami pun berlari. Ketika sampai 500 meter, Lucy memandang kami dari kejauhan. Aku menoleh dan melihatnya berdiri di atas bukit sampah sambil membawa tongkat bergaya lama. Tongkat itu terlihat bersinar keemasan diterpa sinar matahari. Ujungnya bermotif kepala ular. Aku hampir menabrak Bob ketika ia menghindar dan menarikku ke suatu rumah reyot. Kami berempat masuk dan menghembuskan nafas lega.

Di rumah itu hanya ada beberapa perabot rumah sederhana dengan 2 kamar saja. TV jaman dahulu pun memperlihatkan acara yang sudah tidak ada lagi di kota kami. Lalu di depan TV itu ada seorang kakek duduk dengan rokoknya bersantai sampil sesekali menganggukkan kepala. Dia terlihat menikmati acara di TV bututnya itu. Anak kecil tadi menghampirinya dengan sedikit berlari. Membisikkan kata-kata yang tidak bisa kami dengar. Fred menampakkan muka haus ketika melihat sang kakek meminum segelas iced tea di meja sebelah kanannya. Sang kakek berdiri kemudian berbalik dan memandang kami berempat sambil tersenyum. Dia mungkin terbilang 50-60 tahun umurnya, dengan kacamata bulat tergantung di atas hidungnya. Rambutnya yang putih menambah kesan semakin tua, tapi rambutnya lebat. Ketika tersenyum, terlihat gigi-giginya yang rapi dan putih. Dia memakai Old denim berwarna coklat dengan celana hitam katun. Dia terlihat keren meskipun sudah tua. Mungkin mantan rocker, pikirku. “Kalian datang tepat waktu anak-anak.” Katanya dengan tegas. Suaranya sangat berat dan besar. Ditambah sedikit serak yang akan membuatmu berfikir suaranya sepeti batu.

“Apakah kalian terheran-heran dengan makhluk-makhluk di luar yang mengejar-ngejar kalian dengan pandangan seperti mau memakan roti?” Tanya kakek itu seolah kami perlu menjawabnya

Bob ingin menjawab tapi terhenti ketika tangan Anggi memegang pundaknya. “Iya, kek. Kami sangat ketakutan melihat mereka. Apakah kakek tau mereka itu makhluk apa?”

“Mereka itu Heenhand, tangan kanan Heen, Player yang dikutuk oleh para dewan ke bentuk mengerikannya sekarang.” Jawab sang kakek dengan lembut. “Oh, ya. Tentunya, kalian tidak perlu khawatir tentang apakah mereka bisa melihat kita. Jawabannya tidak. Rumah ini terlindung dari pandangan para player mau pun catcher.

“Dan…. Apa itu player dan catcher?” Tanyaku.

“Ah, ya. Mungkin kalian perlu istirahat dan sedikit makanan atau minuman. Rilly, siapkan keperluan mereka. Sebentar ya anak-anak, aku akan mengambil sebuah buku lalu menjelaskan semuanya ke kalian.” Kata kakek lalu dia melangkah ke salah satu kamar di dekat TV. Si anak kecil yang bernama Rilly itu lalu membuka lemari es di kanan sofa dan yang membuat kami berempat sekali lagi terkesiap adalah banyak makanan dan minuman tersimpan di sana. Rilly menaruh 4 double burger dan 4 Black Cola kaleng ke nampan kemudian mempersilahkan kami duduk di meja makan di belakang TV. Kami berempat duduk berdekatan sambil menikmati hidangan. “Double burgernya enak!” Bisik Bob sambil mengunyah snack di depannya. Rilly lalu duduk di pojok kanan meja, di dekat Fred berada. Aku di pojok kiri meja dan berdekatan dengan Bob. Anggi ada di antara Bob dan Fred, sedang meneguk Black Cola kaleng. Rilly memandangi kami satu-satu yang membuatku ingin melempar burger ke mukanya. Apa salahnya dengan kami? Kami hanya segrombolan anak berimajinasi tinggi yang sebelumnya hidup di antara tumpukan fakta. Dan, sekarang kami telah duduk di sebuah rumah ajaib, dengan anak kecil culun sedang melihat kami seperti kami ini artis.

Sang kakek keluar dengan membawa buku kecil seperti buku jurnal milikku. Dia lalu duduk di sebelahku, menghadap Bob, Anggi dan Fred. Dia lalu membuka halaman tengah buku itu. “Perkenalkan, namaku William Johnson, kalian sering memanggilku Pak John di sekolah.” Seolah telingaku ditusuk balok berukuran 10 meter panjangnya. Bob hampir memuntahkan burgernya. Anggi tersentak dan menaruh Black Cola nya. Fred berniat mengangkat meja dan membalikkannya kemudian membakar dirinya sendiri. Tapi niat itu diurungkannya mengingat dia belum lulus sekolah. Lalu Anggi bertanya “Apakah benar bahwa kakek yang kami lihat ini Pak John kepala sekolah kami?” Dia menggunakan bahasa yang sesopan mungkin agar bisa dicerna kakek gila ini. Dan, sesuai mimpi burukku, kakek itu mengangguk penuh keyakinan. Sang kakek melanjutkan “Aku terlihat tua di rumah ini, jika di luar rumah aku terlihat seperti bapak-bapak lainnya, dan tentunya terlihat sedikit lebih gagah. Ya, itu salah satu keberuntunganku dan juga kutukanku. Aku sengaja menyuruh Rilly membawa kalian ke sini karena teman kalian yang bernama Marko ini sedang dalam bahaya besar.” Pak John menjelaskan sambil memandangku kemudian berpaling ke bukunya lagi. Dan dia menjelaskan dengan panjang lebar mengapa dia menyuruh Fred dan anggota OSIS lainnya untuk memeras anak-anak tak berdosa.

Alasannya sederhana, karena para Heenhand di luar itu meminta uang setiap hari Jumat pagi, dan Pak John harus menuruti mereka jika tidak ingin Heen sendiri yang mengobrak-abrik sekolahnya. Informasi itu kurang lebih membuatku mengantuk. “Tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali mengandalkanmu, calon player.” Kata Pak John di akhir ceritanya sambil memandangku lagi. Aku memasang muka kebingungan. “Ya, kau lah calon player yang diincar para Heenhand, karena Heen tahu seberapa besar kekuatanmu yang tersembunyi. Kekuatanmu ada di buku hitammu itu.” Pak John menunjuk saku kiriku. Aku mengambil buku jurnalku dan memandang Pak John dengan ekspresi lebih bingung. “Ini hanya buku murahan yang kubeli di toko dekat rumahku!” Kataku.

“Dan, apakah kau tahu apa yang terjadi jika kau membuka bukumu dan aku mengucapkan kata kuncinya?” Kata Pak John.

“Tidak. Memangnya apa yang akan terjadi?” Tanyaku.

Lalu dia mengucapkan dua kata yang terdengar aneh di telingaku. Eifis Ornfost. Lalu buku jurnalku terbuka kemudian huruf-huruf yang tertulis di buku itu pun melayang kemudian membentuk badan seseorang. Berkumpul semakin hitam, kemudian seseorang dari buku jurnalku itu menggumamkan kata-kata yang tidak kumengerti sebelumnya. Seseorang dari buku jurnalku itu seorang pria berpakaian baju perang jaman dahulu. Dia membawa pisau di kedua tangannya. Pak John lalu berkata sekali lagi. Cloase Eifis. Pria itu terbuyarkan begitu saja menjadi debu. Aku cepat-cepat mengambil buku jurnalku kemudian mengeceknya per halaman. Masih sama, masih ada catatan dan tulisanku sehari-hari dan cerita karanganku. “A-apa yang k-kau lakukan pada buku itu?” Bob bertanya dengan terbata-bata. “Aku membangkitkan sang pejuang lama. Buku itu menyimpan banyak misteri kehidupan mau pun kematian. Pengetahuan apa saja ada di buku itu. Tapi kau harus mengucapkan kata kunci untuk membuka pengetahuannya. Juga untuk melindungimu dari bahaya. Apa saja kata kunci itu, maka buku itu akan menurut dan hurufnya akan menjelma menjadi sesuatu yang kau inginkan.” Pak John menjelaskan sambil memandang kami berempat satu-satu. “Tapi ingat, jika jatuh ke tangan yang salah maka-“

Seketika itu mata pak John tertuju pada pandangan di depan rumah ajaib ini, tiga makhluk mengerikan itu sedang menuju kemari dan sekarang memandang tepat ke mata pak John. Lalu pak John berdiri dan mengambil sesuatu di sakunya. Dia menggenggam sebuah bola berukuran bola golf yang berwarna abu-abu kemudian meletakkannya di lantai. Kami berempat kebingungan. Mungkin dia terlalu banyak minum Black Beer sampai seperti ini. Tapi Rilly menyuruh kami berdiri dan seketika itu kulihat bola mata pak John berubah menjadi biru laut, lalu ada sesuatu di tangan kanannya. Terlihat seperti asap tipis sewarna dengan bola matanya. Asap tipi situ membungkus tangan pak John layaknya perban. Rilly membimbing kami menuju ke sisi belakang rumah ajaib itu. Aneh, ada pintu rahasia yang terbentuk ketika kami sampai. Rilly membukanya dan mempersilakan kami masuk. Kami masuk dan tidak melihat apa-apa selain ruangan berwarna putih dan luas. “Jangan keluar dari pintu ini sebelum aku, Willy atau kakek yang membukanya. Kalian bersantai saja di sini. Kita sedang dalam bahaya.” Dan dia langsung menutup pintu dengan panik. Saat aku berbalik, aku melihat matahari terbit, memperlihatkan padang rumput yang luas dengan satu pohon terindah yang pernah kulihat. Maksudku, bukannya pohon di dunia ini jelek, tapi ini adalah pohon terindah yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Di belakang pohon itu terdapat sungai yang mengalir tenang dengan jembatan penyebrangan biasa. Aku mendekati pohon itu. Semua ini membuatku ingin bernyanyi Bruno Mars – The Lazy Song. Tanpa kusadari semua temanku mengikutiku. Mata mereka juga tertuju pada pohon indah itu. Setelah mendekat, ternyata pohon itu mirip sekali dengan pohon beringin. Tapi ini lebih besar dan tampak lebih kokoh dengan sulur-sulur yang tergantung ke bawah berupa tali bercahaya. Ya, itu adalah tali bercahaya kuning. Sewarna dengan matahari pagi yang kami lihat. Batangnya bergaris-garis teratur dan menggambarkan keindahan dunia. Setiap goresan dan garis mempunyai warna yang berbeda-ada biru, kuning, merah dan hijau-dengan background batang berwarna ungu. Lalu kulihat lagi ke atas dan kusadari pohon ini mempunyai kurang lebih wajah seperti manusia yang tertidur lelap dan tenang. Ada garis tebal mirip alis manusia di atas lubang yang menyerupai mata tertutup. Ada dua lubang diantara lubang mata dan garis yang seperti mulut. Garis yang menyerupai mulut mengatup rapat menikmati tidur lelap dan tenang. Aku terpana ketika melihat daun-daun yang sangat rimbun itu tergoyangkan oleh angin sejuk segar yang membuat kami serasa berada di surga. Daun-daun itu berwarna hijau cerah tapi juga bercahaya kuning, sewarna dengan matahari pagi. Kami serentak memeluk pohon itu dan menghirup angin yang sekali lagi melegakan kami. Angin itu sejuk dan segar tidak seperti di kota yang banyak tercemar polusi udara. Angin ini berbeda dan lebih baik. Kami menghembuskan nafas dengan lega dan memejamkan mata menikmati halusnya batang pohon itu meskipun banyak goresan di sana. “Sedang apa kalian di sini?” Sebuah suara yang berat dan terlihat tua mengagetkan kami.

“S-s-siapa yang berkata barusan?” kata Anggi dengan halus. Aku pun membalikkan badan dan mencari di mana suara itu berasal. Suara itu sangat dekat. Sangat dekat.

“Aku.” Sekali lagi suara tak dikenal itu berkata. Kami tidak berkhayal.

“Di mana wujudmu?! Tunjukkan pada kami! Jangan bersembunyi seperti pengecut!” Teriak Fred sambil mencari di mana suara itu berasal.” Cepat tunjukkan di mana wujudmu!”

“Aku adalah benda tertua yang kalian peluk barusan.” Suara itu membuatku ingin memukul seseorang sekarang. “Hei! Jangan main-main ya! Kau mau-“ Kata-kataku terhenti setlah Bob membungkam mulutku kemudian mendesiskan suara yang menyuruhku diam.

“Jadi kau…” Kata Bob sambil membalikkan badan memandang pohon itu lagi. Kami ikut membalikkan badan dengan mata terbelalak. Di tempat lubang hitam yang menyerupai mata itu, sekarang terbentuklah bola mata besar yang sepadan dengan pohon itu, berwarna hijau daun dan sangat cerah. Sekarang garis yang menyerupai mulut tertutup itu membuka dan menampakkan apa yang ada di dalam pohon itu. Dua lubang yang ada di antara mata dan dan mulut pohon itu sekarang bergerak kembang-kempis layaknya sebuah hidung. “Tapi-kenapa-kau-h-hidup?” Kata Bob gugup.

“Aku memang hidup di dunia Meimmyr karena di dunia nyata tak ada yang mau merawatku lagi. Pernah sesekali aku menjatuhkan biji-bijiku ke tanah dunia nyata lewat burung-burung yang baik. Tapi mereka malah ditembak dan akhirnya bijiku terjatuh tak beraturan.” Pohon itu lalu menampakkan muka sedih. Mulutnya seperti orang yang akan menangis.

“Oh tidak! Itu adalah berita sekitar 3 tahun lalu! Aku pernah membacanya di koran! Sekitar seribu burung Synthom beterbangan membawa biji-bijian ke segala arah dan diduga menyerang warga! Kemudian burung-burung itu ditembak oleh masa dan mati mengenaskan. Biji-biji itu kemudian dibakar. Mereka mengira biji itu adalah symbol kesialan mereka!” kata Anggi tiba-tiba. Aku hanya menjadi pendengar setia percakapan hebat ini. “Ya, aku baru ingat! Tapi burung-burung Synthom itu semestinya punah beribu tahun yang lalu! Dan soal biji itu-“

“Oh tidak, jangan katakan, jangan!” Bob menjadi panik.

“Kau adalah pohon Rinchoor! Kau menyebarkan biji-biji itu agar spesiesmu ada di dunia nyata, kan? Aku membacanya dari Magic of Nature! Tidak mungkin… Kau kan semestinya-“

“Ya, anak muda. Aku adalah Rinch, pohon Rinchoor terakhir yang sudah lelah dengan keadaan kota. Aku dibawa ke sini oleh pak John, karena dia juga bisa berbicara padaku seperti kalian.” Rinch menjelaskan dengan mata menerawang, mengingat masa lalunya.

“Lalu ini dunia apa?” Fred terlihat gelisah sekarang.

“Ini adalah Meimmyr, dunia yang dibuat pak John dari sebuah kalung ajaib. Dunia menampakkan sisi lain pak John yang ramah, menyejukkan dan terlihat segar. Tapi dia juga sering getir, marah dan terlihat sangat sangat tua.” Penjelasan Rinch sekarang terdengar aneh di telingaku. Bagaimana seseorang bisa membuat dunia dengan hanya bermodal kalung? Tapi Rinch berkata dengan tenang. “Aku ditempatkan di sini karena ini lah sisi baik pak John, sejuk dan terlihat segar. Jauh di sana, adalah sisi di mana pak John sering marah, getir dan terlihat tua. Bagian tertua dari dunia ini adalah di The Core. Kalian mungkin menyebutnya inti dunia. Ya, dunia pak John dimulai dari sana. Dan kalung itu merekam semua kejadian yang dialaminya. Bahkan wanita yang sangat dia cintai ada di The Core juga. Di jaga berates-ratus White Wolf, menjaga wanita itu dari serangan para monster yang berasal dari sisi gelap pak John.”

“Jadi, dunia ini…. Hidup?” Tanyaku tolol. Ya, aku memang tidak menyadari bahwa dunia ini hidup.

“Hmm…” Rinch bergerak-gerak gelisah. Dia lalu bergetar kemudian keluar sesuatu dari tanah tempatnya berdiri. Itu adalah… itu adalah dua buah tangan super besar yang kemudian menghujam ke tempat di belakang kami. Tanah seakan berguncang menerima hujaman tangan Rinch. Lalu tanah di sekitar tangan Rinch bergetar dan bergerak-gerak seperti pusaran air. Tanah itu pun lalu menjulang tinggi. Jumlahnya sangat banyak. Mungkin 15 sampai 20. Tanah-tanah menjulang itu lalu membentuk sesuatu seperti manusia tetapi berkaki singa. Kepala mereka hampir sama semua dari belakang. Rambut mereka panjang dengan ikatan tunggal berpita hijau. Tangan mereka pun terbentuk dan terlihat memegang tombak panjang berujung runcing. Mereka sekarang berdiri dengan posisi siaga. Lalu kudengar gemuruh di seberang sungai. Aku melihat banyak sekali hewan-hewan yang sudah lama punah seperti Terra-babi bercula dengan gigi mencuat, Dippynos-badak putih dengan duri di mana-mana, gabungan dari burung dan macan yang aku tidak tahu namanya, dan banyak sekali hewan-hewan aneh di sana. Semuanya menuju ke jembatan penyebrangan kemudian berlari melewati sisi kanan kami tanpa sedikit pun menoleh. “Ada apa ini Rinch?!” Fred bertanya dengan suara gemetar.

“Ini adalah siaga darurat, aka nada penyusup yang memasuki wilayah kami. Penyusup itu masuknya dari pintu yang kalian lewati tadi. Jumlahnya sedikit, tapi cukup berbahaya.” Kata Rinch tidak sedikit pun memandang kami yang kebingungan. “Berlindunglah dibelakangku, anak-anak. Jika keadaan tidak memungkinkan, kalian harus menceburkan diri ke sungai dan jangan melawan. Para Hyru akan membawa kalian keluar dari sini.”

Kami berempat mengangguk lalu berlari ke belakang Rinch. Dia menggeram dan meneriakkan kata-kata aneh yang membuat hewan-hewan punah itu bersiaga dan mengeluarkan senjata masing-masing. Lalu tak beberapa lama pintu melayang yang tadi kami lewati itu pun beriak dan terbuka memuncratkan air berwarna hijau muda segar. Dan seketika itu juga Lucy dalam wujud manusia melangkah masuk dengan tenang. Seragamnya sekarang diwarnai banyak noda hijau. “Oh, ayolah, aku kan hanya manusia biasa.” Katanya dengan lembut dan manja. Aku sangat ingin melemparnya dengan batang Rinch. Kemudian teman-teman Lucy dalam bentuk manusia pun ikut melangkah masuk juga. Dan kulihat bekas darah di sekitar mulut dua teman Lucy yang baru masuk itu. Tentunya mereka juga bersimbah noda hijau cerah.

“Tidak, kalian bukanlah manusia biasa, kalian Player’s hand! Enyahlah dari sini, dasar pesuruh!” Hewan yang terlihat seperti ketua dari hewan-hewan punah itu pun berkata dengan lantang. Dia adalah Singa berduri ke atas yang berada di baris paling depan para hewan punah itu. Tawa mengejek terdengar dari para hewan-hewan punah. Suara mereka sangat tua dan dingin.

“Takkan kulupakan penghinaan ini! Dan kau, Blaze, kepalamu akan kuletakan di dinding rumahku sebagai pernak-pernik dari dunia ini selain darah dari kalian semua!” Teriak Lucy sambil menunjuk ketua barisan itu. Lalu Lucy pun berubah ke wujud anehnya, diikuti teman-temannya. Dia menggeram dan mereka pun menerjang barisan terdepan para hewan. Dia mengibaskan ekor ularnya, menghantam para hewan dengan cakarnya, menggigit para hewan dan melakukan apa pun yang dia dan teman-temannya bisa. Para hewan tidak kalah kuat, mereka berusaha melawan dengan senjata mereka masing-masing dan berubah ke bentuk teraneh-gabungan hewan punah dan manusia-yang perah kulihat. Pertarungan itu terlihat tidak seimbang, tetapi lebih anehnya para Heenhand lah yang banyak membunuh hewan-hewan punah itu. Blaze si singa berduri bertarung dengan dua pedang berduri yang dia keluarkan dari punggungnya. Dia sekarang sedang menghadapi Lucy, bersama dengan dua Dippynos setengah manusia lainnya. Lucy tidak terlihat kuwalahan sama sekali, dia dengan tenang mengibaskan cakarnya yang sangat panjang dan juga berusaha menggigit hewan-hewan yang sedang dihadapinya. Di saat genting itu, Rinch mengangkat tangannya ke udara dan menjentikkan jari. Pertarungan itu sepuluh meter di depannya, tapi dia tetap terlihat tenang dan meletakkan tangannya kembali di belakang manusia tanah setengah singa.

Terlihat dari kejauhan kawanan burung sedang menuju ke area pertempuran. Dan barisan burung terdepan dikepalai oleh burung-burung Synthom. Diikuti burung lainnya seperti Rewkar, Sanchez, Raicho dan banyak burung punah lainnya. Lalu para burung pun menukik ke arah Lucy dan teman-temannya, kecuali tiga burung Synthom yang menuju ke dahan-dahan Rinch kemudian bertengger dengan tenang. “Hai, bos! Lama tidak ketemu ya!” Sapa burung Synthom yang berada tepat di atas mata Rinch.

“Ya, kita sudah dua tahun ini tidak bertemu. Maaf merepotkanmu memanggil saudara sebangsamu hanya untuk melawan Heenhand sialan ini.” Jawab Rinch setengah tertawa.

“Tak masalah, pak tua. Kami juga senang membantu anda. Bird delievery siap membantu, hahaha.” Burung itu lalu terkekeh diikuti dua temannya. “Kelihatannya para Heenhand semakin kuat, ya!” Sekarang burung Synthom paling kanan berbicara.

“Bukan itu yang mengusikku, tapi kekuatan dibalik para Heenhand yang menggerakkan merekalah yang meresahkan. Dia bisa saja menambah kekuatan mereka saat bertarung. Dia sangat teramat kuat.” Rinch berkata dengan nada rendah.

Sekarang para Heendhand sudah bersiap-siap dan terlihat sangat siaga untuk menyrang barisan depan para hewan. Kami pun semakin jerih ketika Blaze meneriakkan seuruan perang lalu menerjang tiga Heenhand di depannya. Para hewan mengikuti dengan semangat membara. Bob tertegun melihat siluet di depannya. Ini bukanlah yang biasa terjadi di dunia nyata.”Kita benar-benar harus pergi dari sini, kawan.” Kata Fred mengumumkan. “Ini tidak baik.” Tambahnya.

Kulihat beberapa hewan mulai tumbang, tapi tiga Heenhand di depan tidak terlihat lelah sedikit pun. Mereka dengan santai mengayunkan pedang yang terbuat dari cakar mereka. Seakan-akan mereka menikmati pertarungan itu dan sedang mengecap rasanya. Tiba-tiba Blaze tergeletak dengan wajah ngeri bercampur tetesan darah di atas mata kanannya. “Tidak.” Suaranya parau diikuti dengan nafas terakhir kemudian dia melebur menjadi cairan emas tanpa tulang.

Hal selanjutnya yang kulihat adalah dua Heenhand di depan pintu menuju dunia aneh ini lebur begitu saja dan mereka berubah menjadi banyak sekali kelelawar bersayap elang. Aku tidak mengerti, tidak semestinya kelelawar mempunyai sayap elang. Lalu kulihat pak John membawa sekotak peti berwarna hitam dan sedang menuju kea rah kami. Kukira dia sudah mati, tapi ternyata dia dan Rilly masih berdiri dengan keadaan sehat-sehat saja.

“Halo, semuanya!” pak John tersenyum seolah tak ada yang terjadi. “Hey, Lucy. Lama tak berjupa denganmu!”

Lucy pun menoleh dengan mata geram, menyadari dua saudarinya lenyap ke bentuk yang bahkan aku tidak mengerti hewan apa itu. “Kau di sini, pak tua.” Dia menghentikan pertarungannya dengan babi perang yang sudah bercucuran darah.

“Ya, dan kau masuk jebakanku. Kau nggak akan bisa keluar lagi.” Pak John berkata tenang.

“Yeah! Itu baru kepala sekolahku!” Bob mulai gila.

“Hmm.. Lalu kejutan apa lagi yang akan kauberikan padaku? Kotak bodoh itu?” Tangan Lucy menunjuk kotak hitam di tangan pak John. Dia tampaknya sudah tahu yang ada di kotak hitam bercorak rumit.

“Dan ya, kuakui kau gadis yang pintar, Lucy. Tapi, kesetiaanmu pada Heen lah yang membuatmu tampak seperti bayi yang baru lahir. Bodoh.”

“Eer.. pak John, sepertinya anda sudah membuatnya marah.” Fred memperingatkan. Ada nada gemetar di suaranya.

Tanpa basa-basi pak John membuka kotak itu lalu asap hitam mengepul di atasnya. Asap itu membentuk sosok yang tidak kukenali. Entah itu manusia atau hewan. Tapi ketika asap itu mulai menebal, ketiga Heenhand lari tunggang-langgang menembus patung berbatu dan langsung menuju ke arah kami. Asap hitam pun mengejarnya dn membentuk tangan seukuran truk sampah.

Kejadian itu pun seolah menggugah bukuku. Bukuku bergerak lalu terlontar dariku, kemudian membuka halaman tengahnya. Sesuatu diotakku berkata: baca mantra. Kemudian aku membacanya dan memikirkan tangan yang sama seperti asap hitam tadi. Buku magisku merespon, hurufnya terangkat, membentuk jari-jari kecil yang kemudian membesar, lalu sempurna menjadi tangan mengepal. Ukurannya sama seperti asap hitam yang mengejar Lucy dan kedua saudarinya. Dan.. Buuk! Tangan super-besar itu menghajar ketiga Heenhand kembali ke tempat di mana mereka tadi berdiri. Tangan-asap-hitam tadi meninju mereka ke atas kemudian sempurna ketiganya masuk ke kotak hitam mengerikan di tangan pak John. “Beres.” Katanya, tanpa ada emosi atau kekaguman. Dia tersenyum ke arahku dan kemudian senyumnya pudar. Sesuatu yang besar menangkapku. Mencengkeramku sangat kuat sehingga kuku-kuku tajam itu bisa saja merobek seluruh bajuku jika buku magisku tidak menyambarnya dengan petir. “Marko!” Panggilnya, tapi terlambat. Aku sudah tiga meter di atas Rinch sekarang, dengan sambaran petir dari buku jurnalku. Kilau petirnya sangat menyilaukan, tapi itu lah yang memperlambat sesuatu yang membawaku. Menarikku.

“Turunkan aku!” protesku. Tapi tak ada jawaban, yang kudengar hanya kaok-an burung gagak yang diperbesar sepuluh kali. Aku mendongak ke atas dan mendapati sesuatu yang membawaku adalah gagak raksasa yang bermatah merah darah. Dia memandangku dengan mata buas lalu dia membuatku mengantuk. Entah bagaimana caranya, dia seperti menyanyikan lagu tidur di pikiranku. Dan hal terakhir yang kuingat adalah petir dari buku hitamku menghilang dan aku semakin jauh di atas bumi sehingga siapapun tidak bisa melihatku. Aku terbang.

A Beautiful Huge Crow

Kepalaku terasa berat dan pening. Aku membuka mata dan menemukan diriku berada di gua sebesar ruang ganti para pemain basket. Gua itu cukup bagus dan tidak apak. Bau tumbuh-tumbuhan yang kukenal-mawar, melati, sepatu-menyerang hidungku. Terdengar suara seorang wanita menangis di kejauhan. Atau mungkin aku sedang bermimpi. Aku mencoba bangun dengan sisa kekuatanku. Kakiku menyentuh lantai dingin terbuat dari marmer. Gemetaran berjalan kea rah pintu yang terbuat dari kayu dan berwarna cokelat, aku mencoba mengingat di mana aku sekarang. Tidak. Aku tidak tahu sama sekali. Pintu itu tidak seberapa besar, hanya seukuran kepalaku, mungkin 1 meter 60 senti. Gagangnya sedingin lantai masuk memenuhi ruangan gua. Wanita yang kudengar menangis tadi-mungkin umurnya terbilang sama sepertiku-duduk dengan tangan melingkar di bawah lutut kakinya, menutup mukanya. T-shirtnya berwarna hitam. Rambutnya mengingatkanku pada Anggi, panjang dan teratur. Elegan di saat malam. Lalu aku duduk di sampingnya. “Di mana aku?” Dia mengangkat wajahnya dan menghapus air mata dengan tangan kanannya. Aku tersentak, ternyata cewek yang kulihat ini cantik, dengan kulit putih mulus. Hidungnya mancung dan kecil dan cocok dengan wajahnya. Meskipun matanya merah, tapi aku masih bisa melihat keindahan di dalamnya.

“Ssst, kau haru tidur, belum saatnya kau bangun. Mari, kutuntun kau untuk tidur.” Dan kejadian itu terulang kembali, lagu itu di pikiranku. “Bagus.” Katanya, suaranya sehalus kain sutera. Aku pun terlelap dan bermimpi. Yang kuingat adalah aku terlelap di bahunya dan tak sadarkan diri.

Esoknya, aku bangun di gua itu lagi, dengan bau yang sama, tetapi cahayanya lebih terang. Seakan-akan matahari ada di hadapanku. Aku melangkahkan kakiku dengan berat dan kusadari kepalaku tak lagi berat. Pandanganku tertuju ke meja di bawah jendela sebelah kananku. Di atas meja itu ada secangkir hot chocolate dan sepiring roti kesukaanku, Daily Bread. Perutku berbunyi dan kuputuskan mengunyah semua roti itu. Setelah habis, kucicipi cokelatnya. Enak. Dengan sedikit tambahan susu vanilla, tebakku. Ketika aku sedang asyik merasakan cokelat, aku melihat ada yang aneh. Di depan pintu terbuka, aku melihat hamparan rumput. Ini aneh sekali, tadi malam ketika terbangun aku tak melihat apa-apa kecuali wanita itu. Lalu aku menaruh cangkir dan berjalan menuju pintu kayu. Aku melihat hal aneh, tiga kelinci berbulu hitam sedang memindahkan batu-batu yang ada di padang rumput di depanku. Kulihat sekeliling, dan kulihat seorang wanita mengendarai kuda hitam dan mengenakan pakaian tidur hitam panjang, menjentikkan jari, kemudian sapi sebesar rumah pohon terbentuk dari asap hitam. Dan anehnya, sapi itu juga berkulit hitam. Wanita itu menoleh padaku dan mendesah. Kemudian dia tersenyum dan menghampiriku. “Pagi, kawan! Bagaimana dengan kepalamu? Sudah sembuh?” pertanyaannya membuatku gugup karena suaranya sangat merdu.

“Emmh, mungkin aku agak baikan jika kau memberitahuku aku ada di mana tepatnya.” Akhirnya terlontar juga.

“Kau di rumahku sebenarnya, tapi ya, itu-dulunya-adalah rumahku. Tapi sekarang kosong karena aku sudah pindah ke belakang.” Katanya

“Ke belakang?” Tanyaku tak mengerti.

“Ke sinilah, teman. Kau akan melihat rumahku yang kedua.” Pintanya.

Aku menurut. Berjalan ke arahnya membuat jantungku berdetak kencang, dan saat dia memberikan isyarat berbalik, aku terperangah. Di belakang gua tadi, ada rumah model yunani dengan cat hitam. Rumah itu besar hingga tiga pesawat tempur pun bisa masuk bersamaan. “I-i-itu rumahmu?” Kataku tak percaya.

“Ya, dan rumah itu adalah penjagaku.”

“Penjaga? Apa kau punya musuh?” Tanyaku.

“Kau sudah menganggapku musuh, bukan? Secara teknisnya, kemarin saat buku magismu itu menyetrum kakiku hingga aku tak bisa terbang lebih tinggi.” Perkataannya kini membuatku ingin terjun ke jurang. Tidak mungkin gagak sebesar itu berubah menjadi wanita secantik dia. Aku terperangah sampai-sampai dia mengangkatku dan menaruhku di belakangnya. Kini aku di atas kuda, dibonceng cewek yang aneh, dan entah bagaimana dia berhasil mengangkatku ke sini.

“Oh ya, namaku Abele, ngomong-ngomong. Namamu?” Dia bertanya seolah aku bukan ancaman.

“Aku Marko, dan-“

“Sebentar, kita akan ke café ku dan membicarakannya bersama. Aku lapar. Aku juga tahu apa yang akan kau tanyakan.” Kudanya meringkik dan membawa kami ke samping rumah gaya yunani itu. Kudanya berhenti dan Abele membiarkanku turun terlebih dahulu. Aku terjerembab karena tak pernah menaiki kuda. Dia turun dengan santai dan membantuku berdiri. Tangannya begitu halus sehingga aku merasa seperti berpegangan pada handuk tebal.

Kami sudah ada di dalam café lima menit kemudian, dengan secangkir kopi hangat dan sepiring muffin biru di depanku. Abele sedang memakan spaghetti dengan segelas jus apel di sebelah kanan tangan kanannya. “Namaku Marko. Marko Sinatra. Dan aku ingin tahu apa yang terjadi padaku setelah aku tertidur kemarin? Dan siapa sebenarnya kau? Apa yang kau lakukan padaku?” Aku tak bisa menahan kebingunganku ini.

“Kau sangat cerewet, Marko. Baru pertama kali ini aku bertemu dengan cowok cerewet sepertimu.” Dia menelan spaghetti terakhirnya kemudian meneguk jus apelnya. “Tapi tenang saja, aku akan menjelaskanmu semuanya.” Dia mengambil secarik tisu kemudian mengelapnya. Dia membuang tisu itu ketika noda di samping mulutnya masih tersisa. Aku membersihkannya dengan tanganku secara refleks. Aku bisa melihat wajahnya merona, dan aku tak bisa melihat ekspresiku sendiri saat itu. Abele tersenyum kecil sambil melihat ke bawah kemudian menatapku lagi. “Kau sangat berani, Marko. Tak ada seorang lelaki pun yang berani menyentuhku bahkan untuk mengelap nodaku saja. Mereka terlalu takut.” Katanya, sambil tersipu malu. Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal dan ikut tersenyum. “Sampai di mana kita tadi?” Tanya Abele setelahnya.

“Sampai mana? Kau bahkan belum menjelaskan apa-apa.” Protesku, pura-pura kesal. Bahkan berbicara dengannya pun membuatku merasa sangat nyaman dan tenang.

“Oh ya, maaf maaf. Aku sering lupa dengan masalah sepele seperti itu. Begini, aku adalah gagak yang mencurimu kemarin. Aku adalah Peusha, manusia yang ditakdirkan bisa menciptakan atau menjadi apa saja yang diinginkannya. Dan kau masih di dunia milik ayahku, pak John. Aku menculikmu karena ibuku ingin berbicara denganmu. Ayahku akan sangat marah jika dia mengetahui ini. Jadi, aku membiarkan beliau tidak tahu. Dan aku menangis karena itu. Aku sayang ibuku, dan aku juga sayang ayahku. Aku tidak bisa membela salah satunya, tapi ini harus kulakukan untuk kebaikan kedua orangtuaku. Kumohon, tolong aku.” Katanya, dengan wajah memohon. Dan informasi itu kurang lebih menambah indah hariku. Aku dibawa ke tempat indah-aneh ini, dan dibawa cewek setengah gagak yang bisa menciptakan sesuatu hanya dengan menjentikkan jari. “Dan sekarang, kita akan menemui ibuku. Beliau pasti akan sangat senang dengan berita ini. Ayo!” Dia menarik tanganku dengan lembut dan kemudian aku mengikutinya meningalkan setengah cangkir kopi hangat dan seperempat muffinku.

Di sinilah aku sekarang, duduk di atas sofa empuk berwarna merah di dalam ruangan super besar dengan barang antik di mana-mana. Barang-barang itu berasal dari jaman yang berbeda. Ada tengkorak dinosaurus, baju perang romawi, dan jejeran topeng kabuki. Semuanya berasal dari tempat yang berbeda juga. Ada lima pintu yang menghadap ke arahku, tapi aku tadi melihat Abele memasuki pintu kedua dari kiri, dan ia sekarang keluar menggandeng seseorang yang tampaknya sudah sangat tua. Umurnya terlihat sama seperti nenekku, sangat tidak cocok jika menjadi istri pak John. “Mama, ini Marko. Ini hadiah ulang tahunku yang ke lima belas. Marko akan membuat papa dan mama bersatu lagi.” Lalu aku teringat pak John ketika di rumah ajaib, beliau juga terlihat tua dan tak mempunyai kekuatan, tapi di dunianya dia terlihat segar dan gagah. Tapi istrinya?

“Salam, tante William. Suatu kehormatan saya bertemu dengan anda.” Sapaku yang terdengar seperti pemain di film tahun 90-an.

“Salam, anak muda. Sebentar ya, aku akan berganti baju dulu.” Abele lalu menuntunnya ke pintu nomor tiga dari kiri. Dia menutup pintu hati-hati setelah ibunya masuk. Lalu setengah berlari dia duduk tepat di sebelahku. Jantungku berdebar lagi.

“Sebentar lagi kau akan melihat kecantikan ibuku. Dia hanya perlu ganti.” Kata Abele.

Menurutmu, apa yang cantik dari seorang nenek yang terlihat sudah sangat tua meskipun dia memakai seribu make up dan gaun panjang seperti putri raja? Tidak ada. Pintu pun terbuka dan menampakkan wanita berumur 30-an dengaan blus merah dan rok selutut. Dia memakai mahkota kerajaan yan bercahaya menyilaukan. Dia terlihat cantik dan mempesona. Parfum mahalnya tercium seketika. Dia berbeda dengan nenek tua yang tadi kutemui. Tapi.. “Mama! Akhirnya!” Abele berseru bahagia. Dia terlihat senang sekali dan senyumnya manis.

“Hey, kalian cocok sekali! Melihat kalian berdua duduk bersebelahan mengingatkanku pada John dan aku sewaktu muda dulu!” wanita itu berseru sambil tersenyum. Wajahnya mirip Abele. Atau Abele yang mirip dia. “Maafkan penampilanku tadi, Marko. Kini aku kembali normal.” Katanya dengan wajah riang. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Abele merona mendengar perkataan ibunya, tapi aku tak tahu bagian mana yang membuatnya malu. Wanita itu mengambil duduk di depanku dan Abele. Dia berdehem lalu melanjutkan. “Baiklah, Marko. Kau pasti sudah tahu mengapa kau dibawa ke sini.”

“Ya, anda ingin bicara dengan saya. Tapi… Tentang apa sebenarnya?”

“Hmm.. Mungkin kau tidak tahu bahwa suamiku meninggalkanku ketika kutukan dari dewan Player mulai menggerogoti usia kami. Kami tampak muda jika berada di dunia manusia, tapi tampak tua jika berada di tempat para Player. Padahal, kami harus mengurus segalanya di Drainees, kota Player. Kutukan itu bermula ketika John bersumpah untuk memberikan mereka putra yang akan menjadi raja kota Drainees. John dan aku sudah berusaha member calon bayi itu segala macam kekuatan sejak dia dalam janin, dan John yakin sekali bahwa anaknya yang akan lahir berkelamin laki-laki sampai dia bertemu dengan Heen. Dia menyamar sebagai nenek tua lalu memberi tahu John jika dia tidak membunuh Nidra-naga berkepala lima-John akan mendapati anaknya berkelamin perempuan. Dan John meludahinya tepat di wajah. Dia berfikir bahwa wanita tua itu gila. Tetapi Heen tidak main-main, dia memasukkan kutukannya ke Abele saat masih di perutku. Cewek cantik yang malang.” Mata Nyonya William menerawang jauh. “Sejak saat itu, John dan aku dikutuk jadi tua jika di dunia Player atau gerbang menuju Drainees.”

“Kupikir itu adalah permintaan bodoh yang dilakukan oleh dewan Player. Kita tidak bisa menebak apa yang akan terjadi. Dan mereka sudah merampas kebahagiaan kalian berdua, tentunya.” Aku berkata dengan tegas.

“Liana! Apa yang kau…” Kata suara yang tidak asing.

Apa yang akan dikatakan pak John berhenti ketika dia melihatku. Matanya merah dan tangannya mengepal. Keringat dingin mengucur di samping matanya. Dia terlihat sangat letih. Abele berdiri ketika melihat ayahnya dan tangannya diangkat ke depan, menantikan pelukan ayahnya. Dia tersenyum gembira, tetapi pak John hanya melewatinya dengan pandangan marahnya. “Kau gila, Liana! Kau juga, Abele! Kalian-“

“Jangan salahkan mama! Ini ideku, aku ingin kalian bersatu lagi, papa! Kalian harusnya-“

“Tidak! Ada alasan mengapa kami tak bisa-tak boleh-bersatu, Abele. Dan itu gara-gara kau! Kau penyebab semua ini! Kenapa kau lahir! Seharusnya aku membunuhmu ketika kau masih bayi! Kau hanya menyebabkan kehancuran!” Kata-kata pak John menghancurkanku. Ternyata, masih ada yang kejam selain orangtuaku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Abele saat ini, tapi air mata menetes dari matanya, dan dia berlari ke arah pintu keluar. Aku mengejarnya tanpa berpamitan dengan dua orang yang sekarang bertengkar itu. Pertengkaran mereka membuat seisi bangunan bergetar. Aku sudah keluar dari pintu utama ketika Abele menaiki kuda hitamnya lalu kudanya berderap menuju tepi padang rumput di depan rumah gua. Kuda hitamnya mengeluarkan sayap yang disembunyikannya di punggung belakang. Dia terbang kea lam bebas entah ke mana. Aku jatuh berlutut. Kakiku nyeri, setelah berlari sejauh 1 km hanya untuk mengejar cewek marah. Dan yang kudapatkan hanya melihatnya terbang dengan kudanya. Sempurna. Dramatis.

Aku tersengal kemudian kusadari buku magisku kembali ke saku belakangku lengkap dengan bolpoinnya. Aku membaca mantra kemudian memanggil kuda yang sama, yang ditumpangi Abele. Huruf-huruf melayang dan terbentuk. Aku sudah siap pergi ketika terdengar suara “Kejar anakku, katakan padanya kutunggu di Jakarta. Dia pasti ke sana.” Dan itu adalah Liana William, ibu Abele. Dia berdiri di ambang pintu utama. Kemudian pintu terbanting menutup dan seisi rumah kelihatannya bertengkar. Kudengar barang-barang pecah dan di atas rumah besar itu ada awan merah dan biru. Aku tidak tahu apa maksudnya, dan aku berderap menuju langit lepas. Perasaanku tak menentu. Kesal, marah, dan jelas, ingin Abele kembali. Belum lama kami bertemu, mungkin satu hari 8 jam, tapi dia sudah seperti sahabatku sendiri. Mungkin lebih. Aku berbicara pada kudaku. Temukan Abele, kawan. Dan kuda itu mendongak sedikit ke arahku.

“Aku biasanya tidak menerima perintah manusia. Tapi ya, kau tuanku. Maka aku harus menuruti apa katamu,” kuda itu meringkik. “Dan ngomong-ngomong, namaku adalah Jo, kau bisa memanggilku kapan saja. Aku ada di pikiranmu.”

“Terimakasih kawan, kau sangat membantu.” Aku tersenyum dan Jo sang pegasus berderap kemudian terbang lepas ke arah langit bebas. Kami melesat sangat cepat hingga mataku terasa pedih untuk melihat apa pun yang ada di depan. Angin seakan membawa jiwaku lepas ke pelukannya. Aku melesat dengan kecepatan cahaya.

Setelah semua angin itu hilang, dan mataku telah nyaman kembali dibuka, aku telah berdiri di atas beton persegi dengan emas yang menjulang di belakangku. Aku menelaah emas itu lalu mengenali apa yang ada di bawahku. Aku berdiri di atas gedung Monas. Ini Jakarta.